Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

UKM Literasi Sastra Unika Santu Paulus Ruteng dan Idelando Adakan Diskusi Cerpen


Manggarai, GardaNTT.id – Menanggapi Program Kegiatan Semester Genap Tahun Akademik 2021/2022, UKM Literasi Sastra Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng mengadakan diskusi Cerpen pada Minggu (30/1/2022) bertempat di Rumah Baca Aksara, Langgo, Kelurahan Carep, Kec. Langke Rembong, Manggarai NTT.

Kegiatan yang berlangsung pukul 14.00 sampai pada pukul 17.00 ini mengundang anggota Idelando dimana sebagian besar anggotanya adalah alumnus UKM Literasi Sastra.

UKM Literasi Sastra memilih Cerpen yang berjudul “Mereka Mengeja Larangan Mengemis” karya Ahmad Tohari karena cerpen ini melihat realitas kehidupan masyarakat.

Dalam cerita ini menurut Opin, Ahmad Tohari menggambarkan secara terbalik. Contohnya dalam penggalan cerita Gupris dan teman-temannya tertawa melihat remah-remah nasi di mulut hansip, tetapi sebenarnya mereka sedang menangis.

Menurutnya, seseorang menulis karya berangkat dari fenomena di lingkungan sekitar, yang membuatnya tercekang.

“Mungkin yang menjadi ketercekaman Ahmad Tohari ialah tentang kemanusiaan” ujarnya.

“Yang ingin disampaikan oleh Ahmad Tohari adalah itulah negara kita, negara kita tidak ada larangan mencopet, mencuri, yang ada hanya dilarang mengemis. Padahal jika dipikir ke kehidupan nyata, memberi itu ikhlas,” tambahnya.

Lebih lanjut redaktur Idelando itu mengatakan, Litera tidak mengangkat cerpen-cerpen terbaru  tetapi masih pada cerpen 2019. Karya-karya Ahmad Tohari sangat responsif terhadap persoalan-persoalan kita.

“Harapannya agar kita responsif terhadap sesuatu-sesuatu yang terjadi di sekitar kita” ungkap dia.

Tanti Delima, selaku pembicara dua mengatakan, karya sastra tidak terlahir dari kekosongan budaya.

Ia menambahkan, Cerpen Ahmad Tohari menyimpan kritik sosial. Penyampaian kritik sosial yang halus dan elegan ini, membuatnya teringat film “Alangkah lucunya Negeri Ini”.

Film yang juga mengangkat kritik sosial bahwa rugi sekali jika hanya menjadi pencopet penumpang bus atau pencopet mall. Padahal copet berdasi mendapat uang lebih banyak. Bahkan ketika sudah berubah menjadi pedagang asongan pun, mereka ditangkap Satpol PP.

“Begitupun dengan komplotan Gupris dan kawan-kawan ini menjadi bingung dengan papan pengumuman larangan mengamen, padahal mereka bukan pencopet dan pencuri. Apa salahnya?” Terang Tanti.

“Sebaiknya pemerintah lebih bijaksana lagi dalam berbagai masalah. Gupris dan kawan-kawan hanya memikirkan makan dan makan. Mereka tidak punya pilihan yang pada endingnya, mereka melarikan diri dengan truk dan berkelana ke kota-kota lainnya untuk menyambung hidup. Memang sebuah dilema umum,” lanjut Tanti mahasiswa tingkat akhir itu.

Diskusi yang dihadiri oleh sebagian alumnus Unika ini berlangsung santai.

Bernad Beding, selaku kordinator UKM mengatakan, realitas kehidupan di 2019 dari lokal sampai nasional yaitu perjuangan anak-anak untuk menghidupkan kehidupan keluarga mereka.

Berita-berita itu yang menggerakan Ahmad Tohari menggugah hati semua kompenen kehidupan, termasuk kita.

“Kita berbicara soal pendidikan, berarti itu sebagian kecil dari kehidupan sosial.
Kehidupan sosial itu merupakan payung dari semua segi kehidupan. ‘Ternyata Mereka Mengeja Larangan Mengemis’ itu merupakan potret dari kehidupan sosial yang membingkai semua aspek kehidupan yang ada dalam cerpen itu,” ungkapnya.

Bernad mengatakan, Pendidikan itu harus bertahap. Ahmad Tohari membalik perspektif ‘laki-laki harus berperan aktif dalam kehidupan’ dengan menghadirkan tokoh Gupris. Mengapa demikian? Karena perempuanlah yang melahirkan kehidupan sosial. Gupris saya tafsirkan sebagai Gupris karena perempuan lebih peduli.

Kami UKM menyadari bahwa UKM merupakan bagian kecil dari kehidupan sosial ini. Sebelum anda mengkritik soal pendidikan, ekonomi, politik, hukum, lihatlah situasi sosial. Karena hakikat kita sebagai mahkluk sosial, maka hakikat itu sebagai cermin sebagai potret kita melihat cabang-cabang kehidupan yang kain” ungkapnya.

Selain itu, peserta diskusi Rati mengatakan sebelum membaca kita mengeja dan tidak melompat.
Ketika pemerintah mengeja larangan mengemis, anak-anak saja belum bisa membaca apalagi berhenti untuk mengemis. Mengapa mereka tidak diberi pengetahuan dulu, sehingga mereka bisa tahu bahwa mereka dilarang untuk mengemis.

“Menurut saya, segi pendidikan penting dari segi itu. Mereka bukannya masa bodo tetapi karena tidak tahu,” tambahnya

Sebagai kata penutup, Virgilius Gheryl Ngalong selaku koordinator Rumah Baca Aksara mengucapkan terima kasih kepada semua yang terlibat dan berharap solidaritas harus tetap ada, juga untuk selalu merenung akan apa yang harus kita buat.