Apresiasi Sastra Tidak Mati (Afirmasi Buat UKM Litera)

Apresiasi Sastra

Edy Soge

Mahasiswa STFK Ledalero Maumere

Omong tentang (apresiasi) sastra, yah cukup rumit. Rumit karena sifatnya yang cendrung bebas, mana suka. Namun, di balik kerumitan itu ada nilai. Sastra mampu memeluk manusia dengan nilai hakiki dan kebenaran. Bahkan, sastra mampu tuntun hidup manusia, buat manusia jadi peka dalam kehidupan. Tidak salah kalau orang bilang sastra itu cermin kehidupan manusia.

Kita tidak lupa sosok editor, Pamusuk Eneste. Dia tulis dalam pengantar buku Proses Kreatif Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, begini: “Sebelum karya itu sampai kepada pembaca, sudah pasti ia melewati suatu proses yang panjang (proses yang sering kali tidak diketahui pembaca awam dan sering pula disepelekan para penelaah sastra). Mulai dari dorongan untuk menulis, pengendapan ide (ilham), penggarapannya, sampai akhirnya tercipta sebuah karya sastra yang utuh dan siap untuk dilemparkan kepada publik.” Itu artinya sebuah karya sastra tidak bisa jauh dari pengarang atau penulisnya.

Situasi Kreatif

Omongan Eneste itu yang sudah dan sedang dihidupkan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Literasi Sastra (UKM Litera) Universitas Katolik Indonesia (Unika) Santu Paulus Ruteng. Artinya, mahasiswa, khususnya anggota UKM Litera dibimbing dan dilatih kepada kemampuan membacakan, melakukan, memahami, dan menilai, serta menikmati karya sastra dengan berbagai genre.

Buktinya, UKM Litera selalu membangun ekosistem sastra sampai saat ini. Berbagai kegiatan bernuansa bahasa dan sastra beraroma dalam sela-selah perkuliahan mereka. Satu kegiatan yang telah terlaksana beberapa hari lalu menggugah hari setiap peserta untuk bergabung. Kegiatan diskusi sastra bertajuk “Merawat Sumpah pemuda dengan Berkarya Sastra”. UKM Litera merayakan bahasa dalam situasi kreatif. Saya turut berpertisipasi di dalamnya dengan hadir sebagai peserta lomba menulis cerpen dan esai. Saya sangat gembira.

Kalau singgung tentang Sumpah Pemuda, tidak bisa lepas dari seni dan kreatifitas. Peristiwa historis sumpah pemuda 1928 merupakan peristiwa puitik karena para pemuda bangsa mengafirmasi jati dirinya dalam bahasa. Mereka mengucapkan Sumpah Pemuda. Ikrar itu seperti menghembuskan nafas kreativitas bagi generasi milenial, khususnya teman-teman dari UKM Literasi Sastra Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. 

Teman-teman UKM Litera menciptakan iklim literasi sastra. Suatu corak baru pesona akademis kampus yang memberi ruang penghayatan terhadapan kesusatraan. Teman-teman menghidupkan suasana kreatif itu dengan kesadaran dan tanggung jawab apresiasi sastra. Teman-teman telah menyelenggarakan lomba menulis puisi, cerpen, esai, dan video drama monolog. Selain lomba, ada pula diskusi sastra dengan pembicara Ezra Tuname, seorang penulis yang melek sastra.

Suatu Afirmasi

Saya mengikuti lomba dan terlibat juga di dalam diskusi itu. Diskusi berlangsung di Aula Missio Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng (20/11/2021). Saya kagum dan gembira mengalami “momen kreatif” ini. Secara lebih serius, saya mesti menerangkan empati literer saya dalam beberapa afirmasi berikut.

Pertama, apresiasi seni dan sastra mengafirmasi karakter antropologis kita sebagai manusia yang berkebudayaan: mencipta dan mencipta. Sastrawan menghasilkan karya sastra, kritikus sastra membedah teks sastra dalam kritik dan esai, pembaca dan peminat sastra menikmati karya itu. Dari pengalaman mengakarabi teks sastra, entah secara akademis atau tidak, bisa memungkinkan transformasi kreativitas, peluang literer menformat diri menjadi pengarang bisa terwujud. Ini adalah momen kreatif. Teman-teman UKM Literasi Sastra Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng telah membuktikannya. Karena itu, saya ucapkan terima kasih dan salam literasi sastra.

Kedua, momen kreatif apresiasi sastra mambantu supaya lembaga pendidikan atau khususnya mahasiswa memiliki dunia batin sendiri, memiliki nafas kesenian dan gairah sastra supaya studi akademis yang sistematis bisa dinikmati sebagai “permainan bahasa” yang riang gembira.

Ketiga, lomba cipta sastra dan diskusi sastra yang diselenggarakan oleh teman-teman merupakan afirmasi akademis, sekaligus panggilan kesenian untuk merawat dan melesatrikan bahasa secara kreatif lewat kerja sastra. Ini luar biasa. Teman-teman telah meyakinkan publik pembaca bahwa rumah sastra Indonesia tetap hidup. Ia hidup dari kejujuran kampus mencipta dan menemukan bahasa, merawat dan melestarikan vokal diksional yang khas literer.

Keempat, kampus hendaknya memberikan ruang kerja kreatif bagi pengembangan seni dan sastra. Selain publikasi ilmiah di bidang bahasa dan sastra Indonesia atau sastra dan budaya daerah, kampus wajib membangun literasi sastra yang sanggup memproduksi subjek kreatif yang sanggup mencipta dan berkarya secara telaten di bidang sastra, kritik sastra, dan dunia panggung sastra.

Kelima, UKM Literasi Sastra Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng merupakan wadah proses belajar kreatif dalam sastra untuk merayakan bahasa, baik secara teoretis maupun praktik demi merawat karakter bangsa, membentuk moralitas peradaban, membawa transformasi untuk terus mencipta. Namun pertama-tama ialah usaha membentuk diri, memformat identitas subjektif lewat sastra. Kekuatan narasi literer, diksi metaforik dan gaya bahasa membentuk imajinasi kreatif, menumbuhkan kepekaan, dan membawa kesadaran subjek pada makna paling sublim dari hidup di dalam pencarian menuju jati diri.

Merawat Sastra

Saya ucapkan profisiat dan terima kasih untuk Koordinator UKM Litera, Bernardus T. Beding, M.Pd., pembicara dan penilai karya Ezra Tuname, panitia lomba, dan segenap mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng.

Saya sangat gembira mengikuti kegiatan ini. Dari kegiatan ini saya mengerti bahwa kampus harus memiliki semangat sastra dan berjuang merawat sastra untuk menjamin peradaban akademis yang terlibat membentuk karakter dan budi bahasa pengarang dan pembaca.  Saya juga belajar bahwa karya sastra yang berhasil harus melewati ujian di meja analisis dari seorang pembaca kritis atau seorang kritikus sastra.

Lomba cipta sastra tentu menunjang apresiasi, tetapi tidak hanya kegiatan eventual, apalagi proposal promosi kampus. Namun, lebih dari itu untuk menciptakan suatu suasana baru dalam bersastra secara serius, melakukan eksperimen-eksperimen bahasa, mencari bentuk baru untuk menunjang perkembangan sastra. Itulah yang menunjukkan bahwa apresiasi sastra tidak mati. Ia datang dari gelora akademis kampus.

Desa Haju