Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks
Cerpen  

Asin Asing

Foto: pixabay.com

Aku dan suamiku sedang mengais harapan pada sepatok sawah. Merapal segala jenis doa agar padi yang kutanam tumbuh dengan subur. Semua itu dilakukan untuk anak semata wayang yang sedang merajut mimpi di tanah rantau. Panas membakar kulit kami. Aku melihat Lipus suamiku dengan giat mencangkul tanah dan betapa gembiranya aku menyaksikan senyum Lipus, yang membuat aku selalu jatuh cinta sepanjang hari.

“Lipus, mari minum kopi dulu”, kuberikan secangkir Kopi Colol untuknya. Ia menyeruput Kopi Colol itu perlahan. Terlintas dalam benaknya ketika memandang tanah kering yang belum kelar digarap. Aku sudah mengira dia akan mengatakan sesuatu yang tentu saja tentang kehidupan anaknya.

 “Ina, anak kita Ardi apa kabar dan kapan dia akan diwisuda?”

Mungkin dia sibuk.”                           

Tapi, Sius anaknya Pak Yanto sudah diwisuda.”

Sius, anak Pak Yanto adalah teman sekolah Ardi. Mereka sama-sama pergi ke Jakarta untuk kuliah. Desember yang lalu, Sius sudah merayakan pesta wisudanya. Ia berhasil meraih gelar sarjana pertanian. Sementara anakku, Ardi selalu memberi kabar bahwa ia hampir menyelesaikan kuliahnya. Setahun yang lalu, ia meyakinkan kami bahwa ia akan wisuda. Aku dan Lipus gembira sekali ketika mendengarkan kabar itu. Sapi, babi, ayam, tanah, dan kopi kami jual sebagian demi menyekolahkan Ardi.

Setiap bulan kami selalu mengirimnya uang 2 kali, kadang Rp500.000-Rp1.000.000. Aku dan Lipus rela makan nasi dan garam saja, asalkan anakku bisa sekolah.

Tapi, setelah mendengar kabar bahwa Sius sudah wisuda, banyak tetangga yang nyinyir tentang kami. Banyak gosip yang menyatakan kalau putraku sudah mempunyai istri dan tidak menyelesaikan kuliahnya. Meski rasa sakit hati, kami tetap menerima dengan lapang dada.

Lipus, percaya saja, anak kita Ardi pasti akan diwisuda.”

Mungkin Ardi malu membawa kita ke gedung besar tempat ia diwisuda, Ina.

Seorang bocah berlari melintasi pematang sawah sambil memegang ponsel. Menyaksikan bagaimana anak itu berlari semacam macan ingin menerkam mangsa.  Suaranya ngos-ngosan ketika tiba di hadapan kami. Ia menyodorkan benda yang dipegangnya. Suara hallo merdu muncul dari benda itu. Aku mendengar seperti suara dari anakku, Ardi.

“Mama, saya pulang minggu depan, saya sudah diwisuda.” Ucap Ardi yang kudengar dari benda kecil itu.

“Puji Tuhan, terima kasih anakku,” ucapku penuh rasa haru.

Aku dan suamiku mulai berangan. Mungkin, ini hari terakhr kami menanam padi, kelak kami cukup menyuruh orang lain kemudian menikmati hasilnya. Aku akan menimang cucu, menyanyikannya lagu agar lekas tidur, dan menceritakan tentang kenakalan ayahnya. Sementara Lipus, suamiku hanya duduk memangku kaki di ruang tamu, menyeruput kopi perlahan dan membuka album foto.

Semuanya sangat indah. Dan tak terasa bibit padi di tanganku sudah habis kutanam. Bapak sudah mengikat kerbau membajak sawahnya di pinggir. Senja perlahan menghantar kami untuk pulang.

Hari terus berlalu, kini saat yang dinantikan, anak semata wayangku pulang. Ia tidak semata membawa diri tetapi membawa gelar serjana. Semua keluarga berkumpul dan menyembelih seekor ayam sebagai rasa syukur. Semua keluarga yang hadir sibuk membuka album foto, melihat betapa gagahnya anakku ketika mengenakan pakaian wisuda. Sebuah pertanyaan kecil yang masih bergelantung di otakku. Mengapa anakku tidak mengajak kami untuk mendampinginya ketika wisuda?

Sarjananya anakku menjadi topik hangat di kampung. Seorang anak petani bisa menjadi seorang berpendidikan. Itu hal yang sangat langka. Dia sepertinya belum terbiasa hidup di kampung. Situasi serba kekurangan, hidangan sederhana, yakni ubi dan jagung, dan kondisi kampung yang tak seramai di kota. Ketika dia terbangun aku dan suamiku sudah di sawah, teman sekolahnya sudah beristri. Dia tidak punya teman sama sekali, hanya berteman dengan ponsel.

Begitu lama waktu berganti, dia tidak pernah berniat mencari pekerjaan. Sarjananya hanya disimpan sebatas kenangan. Suatu hari, di sebuah meja persegi panjang, kami berbincang banyak hal. Ayahnya menanyakan mengapa ia tidak ingin sarjananya untuk mencari pekerjaan.

 “Aku tidak ingin bekerja di kampung ini, tidak ada yang cocok dengan jurusanku,” jawab Ardi ketus.

“Kau ingin kembali lagi ke kota? Semua uang sudah habis buat kuliahmu, bahkan uang terakhir yang kami kirim hasil pinjaman dari tetangga.”

“Papa, jual sawah saja, hasil padi kita juga tidak seberapa. ” Jawabnya dengan suara meninggi.      

Aku berusaha meredam emosi suamiku. Mereka terlalu sibuk berdebat hingga belum sempat mencicip makanan yang aku sediakan.

“Makanan apa ini, asin sekali.” Ucap anakku sambil meludahi makanan yang ada di mulutnya.

Suamiku berdiri mengangkat tangan untuk segera memukulnya. Tetapi tangannya tidak lebih cepat dari tangan Ardi, anakku. Pertengkaran hebat itu terjadi sangat lama, aku tidak mampu meredamnya.

Akhirnya, suamiku jatuh tersungkur, dengan darah yang mengenang di tanah. Aku tidak sanggup melihat apa yang terjadi. Air mataku jatuh berderai. Penyesalan terus datang, “seandainya aku tidak memasak makanan terlalu asin. Seandainya aku yang mati. Seandainya aku membeli makanan yang enak untuk anakku. Seandainya sebilah pisau ini juga bisa menggorok leherku.” Maka dilihatnya Ardi yang sedang duduk membungkuk dan seketika itu juga, “Krakk. Krakk.” Darah mengucur deras dari batang leher lelaki itu.***

*Penulis adalah mahasiswa PBSI Unika Santu Paulus Ruteng