Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Seribu Tangan Ibu

Processed with VSCO with preset

Karya: Dodiardus Erong
Cerpen, GardaNTT.id– Di Sebuah Desa seorang janda tua yang telah lama di tinggalkan oleh suaminya. suaminya telah meninggal dunia Dua Puluh tahun yang lalu. Tak salah jika seorang ibu tersebut menjadi tulang punggung dan Rumah bagi kehidupan anak–anak nya. Kelima orang anak tidak ada yang sekolah, Karena tidak bisa membiayai, sekalipun kelima anaknya punya niat, namun apalah daya mereka adalah keluarga yang sangat miskin.

Mereka makan seadanya, dan ketika seorang ibu pergi kerja, kelima anaknya di tinggalkan di rumah kediaman yang amat sederhana. Rumah yang di atapi ijuk dan didindingi gedek, merupakan suatu kebahagian yang di rasakan oleh keluarga kecil itu. Anak sulung yang berumur dua belas tahun menjaga adik – adiknya. Adiknya yang kedua berumur sepuluh tahun, yang ketiga berumur delapan tahun, yang keempat berumur lima tahun dan yang paling bungsu berumur tiga paling

Sangat sulit baginya untuk menjaga keempat adiknya.
Suatu ketika sang ibu bekerja di kebun, karena pemilik kebun kekurangan tenaga kerja, akhirnya pemilik kebun itu mencari tenaga harian dan menyuruh sang ibu. Dengan cepat ibu lansung kembali ke Rumah, dan memanggil anak sulungnya yang perempuan untuk sama – sama bekerja di kebun, namun sang anak merasa keberatan, karena tidak ada yang menjaga adik – adiknya kalau mereka berdua pergi bekerja kebun. Dengan huru – hara karena jam kerja, sang ibu tidak memikirkan keempat anaknya.

Ibu dan anak sulungnya bergegas mengambil parang cangkul dan sabit lalu lansung berjalan ke kebun. Kebun di penggunungan yang cukup jauh dengan rumah, tetati tidak membuat sang ibu dan seorang anak untuk lelah bekerja, demi menafkai hidup.
Dengan semangat sang ibu bekerja, namun sang anak tidak begitu semangat karena memikirkan adik – adiknya di rumah. Melihat sang anak yang kurang bersemangat dan penuh dengan kecemasan, sang ibu lalu bertanya kepada anaknya,
“Mel, kamu kenapa? Muka mu kelihatan cemas hari ini” Tanya sang ibu dengan suara yang halus.
“ibu, aku cemas karena memikirkan adik – adik di rumah! Siapa yang masak untuk mereka? siapa yang meberi makan mereka?” dengan raut muka yang sedih ia mengungkapkan itu kepada sang ibu.
“maafkan ibu nak, tadi ibu tidak berpikir sampai di situ, munkin karena huru – hura. Nak, kamu bisa pulang duluan sekarang, baarkan ibu yang mengerjakan semua ini, tapi harus izin dengan pemilik kebun terlebi dahulu!” sang ibu dengan panik menyuruh anak sulungnya.

Ketika sang anak minta izin kepada pak yono, pemilik kebun untuk pulang duluan, dan ketika mendengar alasan dari anak sulung, ia pun dengan senang hati untuk mengizinkannya pulang lebih dulu. Pak yono adalah salah satu orang terkaya di satu Desa, dia punya banyak lahan di penggunungan, dan dia selalu mempercayai Sang ibu janda tua untuk mengerjakan kebunya.

Ketika sang ibu sedang bekerja, pak yono selalu meliriknya dari belakang. Tak disangka, ternyata pak yono punya niat yang jahat terhadap Janda Tua tersebut. Pak yono dengan diam mendekatinya, janda tua itu hanya tersenyum dan dia tidak tau kenapa pak yono tiba – tiba mendekatinya. Pak yono juga mulai melepaskan cangkulnya dan lansung memegang tangan janda tua itu, tangannya juga mulai merabah leher sang janda, sontak sang janda kaget dan memukul tangannya. Pak yono terus memaksanaya untuk melakukan sesuatu, tentu pak yono hendak memperkosai janda itu.

Ketika ia terus memaksa dan pada akhirnya janda tua itu berteriak dengan keras. Pak yono lansung mencekik lehernya, dan wanita janda itu sudah di nodai oleh pak yono.
Wanita janda itu pulang dengan muka merah, dan lerer yang penuh dengan luka. Muka yang penuh luka itu membuat sang anak menangis dan bertanya kepada sang ibu,
“ibu kenapa? Muka ibu penuh luka? Apa yang terjadi dengan Mu?” Tanya anak sulung kepada ibunya.
“Ternyata pemilik kebun itu penjahat!! Dia itu penjahat!” jawab sang ibu dengan tangisan dan lansung memeluk anaknya.

Sang ibu menceritakan semua kejadian yang telah menimpah dirinya di kebun pak yono, dan ketika anak sulung mendengar kejadian itu, ia lansung bergegas untuk melaporkan pak yono kepada kepala Desa, sesampainya di rumah pak kepala desa, ia menceritakan semua kejadian yang dialami ibunya pada saat mengerjakan kebun pak yono, namun kepala desa menyuruh anak itu untuk memanggil ibunya supaya masalah yang dicerita lebih jelas. Sang anak lansung kembali ke rumah dan memaggil ibunya.

Cerita seorang ibu kepada kepala desa sangat jelas dan ketika melihat bukti, leher sang ibu penuh luka, serta sang ibu juga menangis. Dengan demikian pak kepala desa lansung bergegas dan menyuruh wanita janda itu dan anaknya untuk mengurus masalah itu di kantor desa.
Sesampainya di kantor, kepala desa menyuruh ibu dan anaknya duduk dan tunggu, karena ia sendiri yang akan memanggil pak yono. Sesampainya di rumah pak yono, ia lansung dudu dan bertanya kepada pak yono,
“maaf pak, apakah benar bapak telah melecehkan ibu yang bekerja di kebun bapak?” pak kepala desa bertanya dengan emosi kepada pak yono.
“tolong pak, jangan sampai istri ku tau kejadian ini, kalau dia tau maka keluarga kami akan berantakan, tolong pak….tolong!!” pak yono dengan panic menyampaikan itu kepada kepala desa.
“Tapi kamu harus harus bertanggung jawab atas perbuatanmu ini, ibu itu telah kau lecehkan, mukanya penuk lukah. Terus apakah kau tidak merasah bersalah?” dengan emosi kepala desa itu berbicara dengan pak yono.

Sementara itu pak yono lansung berdiri dan lansung masuk ke kamar, di kamar ia mengambil uang dengan jumlah yang begitu banyak dan mesuki ke dalam aplop. Dia berencana untuk menyuapi kepala desa, supaya masalahnya tidak disebarkan kemana- mana dan kepala desa berpihak kepadanya. Ia pun keluar kamar, dan lansung manaruh aplop yang berisikan uang di ata mejah. Melihat aplop yang sangat tebal, pak kepala desa lansung bertanya,
“ini apa? Apa yang kau ininkan?” Tanya pak kepala desa kepada pak yono.
“ini uang untuk bapak, tapi tolong jangan teruskan masalah ini, dan bapak harus berpihak kepada Ku” Pak kepala Desa lansung terdiam dan merasa bimbang.
“bagaimana pak? apakah bapak mau menerima uang sebanyak ini? Dari pada bapak mengurus masalah saya dengan orang miskin itu, lebih baik bapak tidak usah urus, dan tetap dapat uang sebanyak ini” pak yono kembali menyampaikan itu kepada kepala desa.

Melihat uang sebanyak itu pak kepala desa lansung tergiur, dan hendak menerima tawaran dari pak yono, dengan demikian pak kepala desa kembali ke kantor dengan membawa uang sogokan yang di berikan oleh pak yono. Sesampainya di kantor desa,
“Bu, nanti ibu tunggu panggilan dari kami, karena saya baru pulang dari rumah pak yono, dan kami akan memanggil ibu beberapa hari kedepan, ibu tunggu saja di Rumah, ibu juga perlu istrahat, supaya proses kedepanya lebih lancer”.
Ibu dan anak tidak bicara banyak, karena mereka telah yakin masalah ini akan di selesaikan secara baik oleh pihak pemerintah.

Hari demi hari janda tua dan anak sulungnya menunggu panggilan dari kantoe desa, namun tak kunjung di panggil. Masalah itu di tinggal begitu saja tidak ada tindak lanjut, di kemudian hari anak sulung itu mempunyai niat untuk bertemu kepala desa, dia mau Tanya soal masalah yang telah menimpai ibunya.
“Ibu..aku harus pergi beretemu pak kepala desa, saya harus Tanya soal kejelasan maslah yang ibu, dan bagaimana dengan pak yono, apakah dia bertanggung jawab atas perbuatan jahatnya!!” tutut anak sulung kepada ibunya dengan suaranya yang halus.

“nak..kita tunggu panggilan saja, kan pak kepala desa sudah berjanji, dia akn panggi kita untuk ke kantor desa, jadi bagaimana kalau kita tunggu panggilan saja?”
“tapi kita sudah lama menunggu ibu, apakah kita harus menunggu terus?, lalu bagaimana kalau mereka abaikan masalah ini? Berarti mereka tidak adil.” Ucapan anak sulung dengan emosi.
“baiklah kalau begitu nak, kamu ketemu pak kepala desa, tapi ibu tunggu di Rumah, ibu jaga adaik – adik mu”
Tanpa berpikir panjang anak sulung itu lansung bergegas ke rumah pak kepala desa, sesampainya disana pak kepala desa terkejut melihat anak sulung itu,
“nak, untuk apa kamu kesini? Kan saya sudah bilang, kalian tunggu panggilan saja, lagi pula saya sudah leporkan pak yono ke pihak kepolisian, kalian tenang saja, intinya kalian harus siapkan uang banyak untuk menyelesaikan masalah ini di kepolisian” karena pak kepala desa tau bahwa mereka adalah orang miskin, dia megancam anak sulung itu untuk menyiapkan uang untuk menyelesaikan masalah itu, sementara si anak sulung mulai kepikiran dengan ucapan pak kepala desa, mengingat mereka tak punya apa – apa, apalagi sang ibu yang susah payah untuk menafkai mereka.
Ahirnya diapunkembali ke rumah.

Sampai di rumah terasa begitu sunyih, melihat adik – adiknya yang masih kecil sedang tidur dan ibunya sedang sibuk membereskan rumah. Mereka hidup dengan begitu banyak kesusahan, berbeda dengan waktu ibu masih di percayai sama pak yono, tapi semuanya berubah, lebih baik cari keerjaan lain dari pada di ganggu oleh niat buruk pak yono. Tugas anak sulung dan sang ibu semakin berat untuk menafkai keluarganya, dimana ada kerja yang membutuhkan tenaga harian, disitu mereka bekerja, tak kenal lelah mereka bekerja, meskipun hujan dengan petir di penggunungan mereka tidak takut, mereka tetap kuat dan pantang menyerah.
Anak kedua, namanya Ensika, sudah semakin mengerti akan keadaan keluargaya, dia tampak bias menjaga adik – adiknya yang tiga orang, tak salah jika anak sulung dan sang ibu pergi kerja, dan menyuruh ensika untuk menjaga adik – adiknya yang masih kecil. Sangat di sayangkan, suatu ketika anak ke empatnya jatuh sakit, namanya cerli, badanya tumbuh bintik – bintik kecil, mukanya penuh kemerahan, anak yang malang itu tidak berhenti menggaruk tubuhnya sampai terluka, akibat tubuhnya yang gatal terus, tiap malam Cerli terus manangis, badannya terasa panas dan gatal, sementara sang ibu tidak tau harus bagaimana lagi, mau di bawah ke rumah sakit, tapi harus butuh uang, semuanya serba kesusahan, apalagi kampungnya yang sangat jauh dengan rumah sakit.

Hari demi hari, penyakit yang dialami cerli semakin parah, satu persatu rambutnya mulai hilang, badannya semakin kurus, tubuh dan wajah cantiknya di penuhi bintik – bintik merah, setiap hari ibu merawatnya, sedangkan anak sulungnya bekerja.
Hari demi hari, penyakit yang di alami cerli semakin parah, bahkan keinginannya untuk makan dan minumpun mulai menurun. Apalah daya ibunya hanya bisa menangis, tak ada satupun yang membantu mereka. Tapi, anaknya yang sulung mulai berpikir, ia niat untuk meminta bantuan kepada kepala desa, siapa tau mereka bisa membawa cerli ke rumah sakit.

“ibu, bagaimana kalau saya pergi ke kantor Desa, kita minta bantuan dengan kepala desa, siapa tahu mereka bisa membawakan cerli ke Rumah Sakit” ujar anak sulungnya dengan semangat kepada sang ibu.
“aduhh…masalah sama pak yono saja, mereka lepas begitu saja, tanpa ada tindak lanjut, terus kita mau menamba beban untuk mereka! Nak lebih baik kita pasrah kepada tuhan, siapa tau ada jalan keluar, dan cerli bisa sembuh dari penyakit nya” sang ibu tidak setuju jika anak sulungnya harus meminta bantuan dengan pak kepala desa.
Mendengar pernyataan ibunya, ank sulung itu lansung diam. Melihat keadaan si serli, hari demi hari, rambutnya sudah mulai menghilag, sementara badannya mulai kurus, banyak bintik – bintik yang tumbuh, bahkan ada luka – luka yang tumbuh dan mulai membesar di belakang pundaknya, inilah hal yang membuat ibunya menangis tak henti. Tetapi mereka hanya sampai di situ, dan tak tau harus bagaimana lagi.

Di pagi yang buta, terdengar hembusan napas yang amat ngerem, sang ibu lansung merangkak dari tidurnya, terlihat mulut anaknya cerli terbuka lebar dan matanya tidak bisa di buka. Hal buruk akan menimpai mereka.
“nak… bangun, cepat, cepat kesini!! Cerli kenapa! Kenapa sampai begini, apakah aku harus menerima semua ini, ibu tidak inigin engkau pergi, ibu sangat menyayangi engkau!!”
Dengan teriakan dan menangis sang ibu merasa bahwa anaknya akan meninggalkan dia.
Anak sulung dan adik –adiknya lansung terbangun dari tidur, mendekati cerli dan ibunya. Dan beberapa menit kemudian cerli menghembuskan napas terakhirnya. Terikan dari rumah itu mengundang warga unruk datang, semanya hanya bisa menangis. Sang ibu pinsan, dan anak sulung beserta adik – adiknya sangat sedih, mereka menangis sambil memeluk cerli yang sudah meninggal.

Sebulan setelah cerli meninggal, anak sulungya berniat untuk pergi merantau.
“ibu, apakah ibu setuju dengan niat ku ini, supaya kita tidak seperti ini lagi, saya harus pergi merantau, siapa tau dengan itu, kita bisa hidup bahagia”
“kalau kamu pergi merantau, siapa lagi yang menjaga adik – adik mu? Ketika aku pergi berkebun, siapa lagi yang ku harapkan untuk memberi mereka makan? Apakah kamu tidak memikirkan kami? Sekarang ibu semakin sedih. Cerli sudah meninggal, dan kamu akan pun…ah..ibu tidak sanggup kalau kamu pergi merantau” ujar sang ibu dengan nada yang halus dan sambil menangis.

Anak sulung yang selalu taat kepada orang tua, dia lansung terdiam ketika ibunya berbicara apalagi sambil menangis.
“Ensika, kau sudah berumur 12 Tahun, jadi kamu harus bisa membantu ibu untuk bekerja. Paling tidak kau harus taat kepada ibu, jangan sering melakukan kesalahan, dan jangan membuat ibu marah kepada Mu” Ujar kakak sulung kepada Ensika, adik laki – lakinya.

“Ibu belum pernah marah kepada Ku, lagian selama ini aku di rumah terus, dan jarang bermain di luar. Tapi, aku agak heran sekarang, kenapa saya merasa keluarga kita ini sering diabaikan?, “ jawab ensika kepada kakaknya.
“hahahaha…!! Iaa saya tau kok, kamu tidak sering bermain di luar rumah. Tapi intikan saran dari kakak, karena kakak melihat kamu sudah semakin mengerti. Ohh…ia kan kita orang yang miskin, jadih maklumlah kalau pemerintah mengabaikan kita”.
“nak.? saya mau masak, tapi kayu api sudah habis, sekarang kita ke hutan dulu mencari kayu api!”. Tiba – tiba sang ibu memanggil dari dapur.

“saya harus ikut ibu! Dan kakak, tidak usah ikut. Biar saya dengan ibu yang pergi ke hutan mencari kayu” ujar ensika kepada ibunya.
“memangnya kamu bisa ke hutan? mencari kayu?” Tanya sang ibu kepada ensika.
“aku bukan anak kecil lagi ibu, aku bisah menbantu ibu. Ibu yakin saja, jangan ragukan diriKu” tegas ensika kepada sang ibu.
“baiklah, supaya tidak bertele – tele ayo kita berangkat!”
Seperti biasa mereka jalan kaki menuju ke hutan. Cukup jauh untuk menuju kesana, mereka tidak lupa membawa bekal. Dengan semangat mereka menaiki gunung, karena sang ibu dulu ssering mencari kayu di sana, bukan hanya kayu, sewaktu suaminya hidup, mereka perna membuka lahan di hutan itu dan menanam banyak ubi – ubian di hutan. Seketika sampai di hutan, ibu nya lansung duduk, tiba – tiba menangis.

“ibu, kenapa menangis?” ensika bertanya dan merasa ketakutan, ketika melihat ibunya yang sedang menangis.
“belasan tahun yang yang lalu, waktu kamu mesih kecil, aku dan ayahmu membuat pondok di hutan ini, banyak sekali tanaman yang kami tanam, waktu itu kalian belum mengerti sama sekali, dan kalian berlima kami bahwa kesini, hanya Ani saja yang cukup mengerti. Dia sangat menyayangi kita semua. Tapi mengapa hal buruk itu terjadi padanya waktu itu, dia tidak menghiraukan angina badai, dia tidak menghiraukan hujan yang begitu deras, dia tetap bekerja demi menafkai kita. Sedangkan aku waktu itu masih mengandung si bungsu, aku sering mengalami kekhawatiran setiap hati, karena ayahmu sering pulang malam dari kebun. Memang dekat dari pondok yang pernah ada disini, tapi aku tetap khawatir, karena kita sendirian disini waktu itu.

Semalaman aku tidak tidak tidur, menungguh ayahmu waktu itu, tapi dia tak kunjung pulang. Di pagi yang buta waktu itu, dan kalian masih tidur, aku berniat untuk mencarinya, dari hulur sampai ke hilir aku berteriak, tapi tak satupun orang yang menjawab, aku juga tidak nelihat jejaknya, aku hanya melihat sekumpulan ubi yang dia kumpulkan di kebun, tapi bukan itu yang aku cari, aku mencari ayahmu. Akhirnya aku kembali lagi ke pondok, karena mengingat kalian. Aku berharap dia akan kembali, tapi tidak, tiga hari sudah lewat. Dengan demikian, saya kembali ke kampong dan membawa kamu berempat, sangat sulit bag ku waktu itu, tapi aku berusaha supaya kita sampai dengan selamat di desa”
“terus ibu, bagaimana dengan ayah waktu itu, Apakah ditemukan?” ensika kembali bertanya kepada ibunya dengan mukanya yang cukup sedih.
“sesampainya di desa, aku memberitau kepada orang – orang, bahwa suamiku hilang di hutan. Orang – orang desa lansung bergegas mencari ayah mu di sini, setelah itu terdengar kabar bahwa dia sudang meninggal dunia, akibat di timpah pohon besar. disinilah ayahmu meninggal dunia, di hutann ini, dan mungkin kalau dia masih hidup sampai sekarang, hidup kitah tidak akan susah seperti ini, dan kalian mungkin akan sekolah semua. Yahh inilah perjalanan hidup kita nak, ayo kita cari kayu sekarang!”
Ensika dengan semangat membantu ibunya untuk mencari kayu. Tentu sang ibu merasa bangga karena melihat anak laki – laki nya yang sudah bisa membantunya.

Setelah selesai mencari kayu mereka berdua pulang ke rumah. Belum sampai pintu masuk ruma, terdengar suara dari pengurus desa,
“Pengunguman – pengumuman, bagi seluruh masyarakyatat Desa , khusus yang janda, besok akan di bagikan Babi bantuan, harap besok pagi, semua berkumpul di Depan kantor Desa ” Terikan pemerinta, Sontak semua para janda senang dengan pengumuman tersebut. Salah satu anak dari seorang janda yang bernama Encika mendatangi ibunya,
“Ibu…besok akan di bagikan Babi bantuan untuk para janda, dan ibu juga janda, Jadi Ibu besok harus hadir di Kantor Desa”
“Ohh..ia nak, apakah ada persyaratan yang harus di bawakan besok?” Tanya sang ibu kepada Ensika.
“aku juga kurang tau ibu, tapi aku harus Tanya ke pengurus desa”.

Encika lansung bergegas menuju kerumah pak dusun. Sesampainya disana, pak dusun tidak ada di rumah, dengan semangat Encika lansung ke kantor Desa , disana para pengurus Desa sedang serius mengurus data untuk penerimaan Babi Bantuan.


“selamat siang pak, maaf mengganggu” sapaan encika kepada pengurus desa.


“silakan masuk ensika, apakah ada yang bisa kami bantu? Kalau ada silakan sampaikan,!” ujar kepala desa kepada ensika yang masih berumur 12 tahun itu.
Anak itu bertanya tentang syarat apa saja yang di bawakan ke desa, untuk menerima babi bantuan untuk janda, karena ibu dari enika juga janda. Tetapi pihak desa menyuruh dia untuk beri tau ibunya, supaya pada saat penerimaan babi bantuan, besok wajib membawakan Kartu Tanda Penduduk. Dengan senang hati, anak itu kembali ke rumah dan memberitahu ibunya terkait persyaratan yang harus di bahwa untuk menerima babi bantuan.

Sesampainya di rumah anak itu memberi tau ibunya, dan ia juga menyampaikannya dengan rasa senang, karena sepanjang hidup mereka, keluarga kecil itu baru pertama kali mendapatkan babi bantuan dari desa, itupun karena ibunya seorang janda, dan bantuan yang akan di berikan khusus untuk janda di desa itu. Besok paginya sang ibu buru – buru untuk pergi ke kantor desa, dia mengajak ensika untuk menuju kesana, sampai di sana mereka orang yang pertama datang. Sebelum pembagian di mulai, bapak kepala desa memberitahukan bahwa yang akan di panggil maka ia yang ber hak untuk menggambil satu ekor babi, dan jika namanya belum di panggil, maka ia belum mendapatkan bagian, karena babi ini terbatas, syukur kalau semua janda dapat bagian. Dengan kesabaran sang ibu menunggu dan berharap namanya akan di panggil, tapi sudah beberapa jam namanya tak kunjung di panggil, karena ensika kasihan dengan ibunya, ia lalu mendekati para petugas desa dan bertanya apakah nama ibunya akan di panggil dan mendapatkan babi bantuan, dengan kehendak si anak untuk bertanya, maka pengurus desa pun mengecek nama ibunya, dan ternyata nama ibunya tidak terdaftar sama sekali dalam penerimaan babi bantuan.

Anak itu sangat kecewa, karena dari pagi sampai siang mereka menunggu dan berharap akan mendapatkan babi bantuan, tapi sama sekali tidak sesuai dengan harapan mereka. Anak itu kembali mendekati ibunya, dan memberitahukan bahwa nama ibu nya tidak terdaftar sebagai penerima bantuan. Setelah memberitahukan itu, ibunya hanya tersenyum, memang dari dulu mereka belum pernah mendapatkan keadilan. Mereka berdua kemudian pulang kembali ke rumah, sementara di rumah si anak sulung sedang menanti dan berharap mereka akan membawa dan pelihara babi. Mereka berharap sekali. Meskipun sebelumnya itu merupakan harapan yang belum pasti. Ketika sampai di Rumah, anak melihat mereka tidak membawakan apa – apa, dia hanya melihat kesedihan di wajah adiknya dan senyuman manis ibunya.

Anak sulung itu juga tidak bertanya banyak, karena ia tau bahwa mereka memang tidak layak untuk mendapatkan apa–apa dari pemerintah, dari dulu mereka begitu sulit untuk mendapatkan keadilan. Mereka kembali duduk dan sambil ngobrol, anak sulung yang baik hati itu kembali mengeluh kepada ibunya,

“ibu, kenapa kita dari dulu itu sering sekali di abaikan? Dulu ibu di lecehkan oleh oleh pak yono pas lagi bekerja di kebunnya, waktu cerli sakit mereka juga abaikan juga, tidak memperhatikan anak yang sakit parah, sekarang juga begitu, katanya di desa ini semua janda akan mendapatkan babi bantuan, ternya ibu yang juga janda tidak mendapatkan apa–apa. Saya merasa kita tidak layak untuk berada do desa ini.” Ujar anak sulung dengan merasa cemas.

“Nak, selama ibu bisa menafkahi kalian, kamu jangan terlalu berpikir, dan jangan selalu berharap untuk mendapatkan apa – apa dari orang lain, buktinya selama ayah kalian meninggal dunia, saya tetap bisa menghidupkan kalian, meskipun saya tidak bisa membiayai kalian untuk sekolah, setidaknya kalian bisa mendapatkan makan setiap hari.”

Sang ibu tak pernah lelah memberikan kasih sayang, dan motivasi kepada keempat anaknya itu, meskipun yang mereka rasakan cukup sulit, tapi kasih sayang sang ibu tak pernah putus. Anak sulung itu kembali berpikir untuk pergi ke tanah rantauan dan ia kembali berusaha untuk meyakinkan ibunya. Karena sang ibu berpikir bahwa ini kedua kalinya anak sulungnya itu minta persetujuan dari sang ibu untuk pergi merantau, dan ibunya juga berpikir bahwa anak laki–lakinya Encika sudah bisa membantunya. Anak sulung sangat senang, karena sang ibu telah menyetujuinya untuk pergi merantau, meskipun dalam hati seorang ibu ada rasa keberatan, tapi demi hidup dan masa depannya ibu harus iklas.

Setelah anak sulung beberapa tahun di tanah rantauan, yaitu di Kalimantan, hidup keluarganya di kampong semakin membaik, karena anak sulung sudah mendapatkan pekerjaan yang baik di sanah. Anak sulung itu juga berharap bahwa adik laki – lakinya yang bernama Encika akan segera mengikutinya untuk merantau, karena ia sadar bahwa itulah satu – satunya cara untuk membuat keluarganya bahagia dan berkecukupan untuk membiayai hidup. Sang ibu yang melihat anak sulungnya cukup sukses di tana rantauan, maka ia pun setuju siapa Encika juga ikut kakaknya pergi merantau di Kalimantan.

Kehidupan mereka pun semakin aman dan bahagia, berkat kasih sayang sang ibu, yang memelihara lima orang anak dengan penuh kesusahan apa lagi tanpa seorang suami, bahkan sering di abaikan oleh ketidak adilan, tapi sekarang mereka sudah bahagia, karena usaha dari sang anak dan juga kasih sayang seorang ibu.