Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Misteri

Karya: Irene Putriliana Dina

Cerpen, GardaNTT.id– Suasana malam begitu sunyi di pinggiran hutan yang lebat. Di tengah kegelapan, berdiri sebuah rumah kuno yang terabaikan sejak lama. Warna catnya yang pernah cerah kini telah pudar, dan jendelanya yang retak-retak memberikan kesan seram.

Tiga sahabat, Andi, Maya, dan Rizky, memutuskan untuk menjelajahi rumah itu karena mereka penasaran dengan cerita-cerita mistis yang berkeliaran di sekitarnya. Mereka menganggap itu hanya mitos, namun rasa ingin tahu mereka terlalu besar untuk diabaikan. Dengan langkah hati-hati, ketiganya masuk ke dalam rumah tersebut. Udara di dalamnya terasa dingin dan berdebu. Sinar rembulan yang redup menyoroti ruangan gelap, mengungkapkan potret ketidak jelasan yang membuat bulu kuduk mereka merinding. Di koridor gelap, mereka mendengar suara langkah kaki yang tidak seharusnya ada.

Andi, yang paling berani di antara mereka, berbisik, “Mungkin hanya tikus atau angin.” Namun, kegelapan yang menyelimuti rumah itu semakin membuat mereka gelisah. Mereka membuka pintu menuju ruang tamu, dan mata mereka tertuju pada lukisan besar di dinding. Sebuah keluarga tampak bahagia di dalamnya, namun ada sesuatu yang tidak beres. Wajah mereka terlihat kabur, seolah-olah sesuatu telah mencoba menghapus kenangan bahagia itu. Tiba-tiba, suara tangisan bayi terdengar dari lantai atas. Tanpa ragu, mereka melangkah menuju tangga, dan langkah kaki bayi itu semakin dekat.

Ketika mereka sampai di atas, pintu kamar terbuka dengan sendirinya. Ruangan itu gelap, kecuali bayangan seorang ibu yang menggendong bayinya di pojok. Maya dengan berani mengucapkan, “Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan?” Namun, tiba-tiba lampu menyala, dan mereka melihat wajah bayi itu. Sebuah bayi dengan mata merah menyeringai ke arah mereka. Tanpa aba-aba, suasana berubah menjadi mencekam. Mereka terdiam sejenak, terpaku melihat bayi dengan mata merah itu. Bayangan di wajahnya menimbulkan ketakutan yang tak terlukiskan. Wajah si bayi menyeringai lebar, seolah-olah menyimpan rahasia gelap di balik senyumnya yang mengerikan.

Rizky, yang biasanya ceria, menjadi pucat dan berkata, “Ini tidak mungkin. Bayi ini tidak boleh ada di sini. Apa yang terjadi?” Tanpa aba-aba, pintu kamar yang tadinya terbuka kembali tertutup dengan sendirinya. Ruangan itu kembali gelap gulita. Mereka berusaha keras menyalakan lampu, namun gagal. Suasana mencekam semakin intens, dan ketiganya merasa sepertinya ada kehadiran tak terlihat yang mengawasi mereka. Andi yang berani mencoba untuk memanggil ke hadapan bayi itu, “Siapa kau? Apa yang kau inginkan?” Tiba-tiba, ruangan itu penuh dengan tawa yang aneh dan terdengar seperti bayi mengejek. Semua lampu di rumah itu menyala dengan sendirinya, mengungkapkan pemandangan yang mengejutkan.

Wajah bayi telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih menakutkan, seperti wajah setan kecil yang mencibir pada mereka. Maya, ketakutan, berbisik, “Ini bukan bayi biasa. Kita harus pergi sekarang juga!” Ketiganya berlari menuju pintu keluar dengan hati-hati melewati lorong gelap. Namun, pintu itu seperti tidak ingin terbuka. Suara tawa bayi yang mengerikan semakin menggema di seluruh rumah. Mereka berusaha membuka pintu dengan keras, namun pintu tetap terkunci.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara bergaung dari sudut ruangan. Di sana, di dalam bayangan yang gelap, muncullah sosok wanita tua dengan gaun putih kuno. Wajahnya dipenuhi dengan ekspresi kegelapan yang menakutkan. Wanita itu menatap mereka dengan mata kosong, seolah-olah menyimpan dendam yang tak terungkap. Andi dengan gemetar bertanya, “Siapa kau?” Wanita itu tertawa serak, “Aku adalah ibu dari bayi yang tak berdosa ini. Kalian telah membangunkan aku dari tidurku yang panjang.” Maya, Rizky, dan Andi tidak bisa berkata-kata.

Wanita tua itu melangkah mendekati mereka dengan langkah ringan, seolah-olah menyusupkan ketakutan langsung ke dalam hati mereka. “Kalian harus membayar harga untuk mengganggu ketenangan kami,” ucap wanita itu dengan suara yang menakutkan. Tiba-tiba, lampu padam, dan suasana menjadi sangat gelap. Mereka merasakan kehadiran yang tak terlihat mencekik mereka. Dan dalam kegelapan itu, terdengar suara tawa bayi dan desain ibu yang membuat bulu kuduk mereka berdiri.

Ketika lampu padam, kegelapan yang menyelimuti mereka seakan hidup. Ketiga sahabat itu merasa terhanyut dalam keheningan gelap yang menakutkan. Mereka saling berpegangan erat, mencoba memahami apa yang sedang terjadi di sekitar mereka. Suara tawa bayi dan desisan ibu semakin dekat, membuat atmosfer semakin mencekam. Rasa takut merayapi pikiran mereka, seolah-olah kehadiran tak terlihat itu memiliki kekuatan untuk merenggut nyawa mereka. Tiba-tiba, ruangan terang benderang oleh cahaya sinar lilin. Mereka mendapati diri mereka berada di dalam ruangan yang berbeda, namun seram dan angker. Di sekitar mereka terhampar berbagai mainan bayi yang tampak usang dan rusak. Sebuah ayunan bayi bergerak sendiri, menghentak-hentak dengan ritme yang tak teratur.

Dengan ketakutan yang memuncak, mereka melihat bayangan ibu tua dan bayi dengan mata merah di ujung ruangan. Wanita tua itu kini memegang bayi dengan penuh kasih sayang, tetapi ekspresinya menyiratkan kegelapan dan kebencian yang tak terhingga. “Aku adalah ibu yang kehilangan bayinya secara tidak adil,” ucap wanita tua itu dengan suara yang merayap di tengah keheningan. “Kalian telah membangunkan kami, dan sekarang, kalian harus membayar harga itu.” Langkah-langkah mereka terasa gemetar saat wanita tua itu mendekat, dan suasana semakin terasa suram. Dalam ketakutan yang membius mereka, mereka mencoba mencari jalan keluar, tetapi pintu ruangan itu tertutup rapat.

Tawa bayi dan desisan ibu semakin menghantui mereka, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Tanpa aba-aba, bayi itu melihat langsung ke arah mereka, matanya yang merah menyala seolah memancarkan kegelapan. Serentetan tawa bayi dan suara desisan ibu memenuhi ruangan, menciptakan gelombang ketakutan yang merayap ke dalam pikiran mereka. Lalu, secara tiba-tiba, semua menjadi gelap kembali. Suara tawa dan desisan itu lenyap begitu saja. Ketika mereka membuka mata, mereka mendapati diri mereka kembali di depan rumah kuno. Bulan purnama menerangi malam, dan suasana terasa tenang. Andi, Maya, dan Rizky saling memandang, seolah-olah tidak percaya dengan pengalaman yang baru saja mereka alami. Tanpa sepatah kata, mereka meninggalkan rumah kuno itu, merasa lega bahwa mereka berhasil keluar dari pengaruh yang tak terlihat.

Sejak malam itu, rumah kuno di pinggiran hutan tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan.