Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Frater Salahkah Aku Mencintaimu? Sebuah Balasan

Ilustrasi: Hidupkatolik

Oleh: Afriana

(Redaktur Puisi Banera.id)

Senja kembali memancarkan keindahannya. Indah sekali. Seandainya situasi saat ini dia ada di sampingku, pasti semuanya akan lebih indah. Tetapi apa yang terjadi, peristiwa kemarin menjadi pelajaran untuk selalu menghargai perasaan dan, mendekatkan diri pada Sang Empunya hidup. Jangan salah jatuh cinta lagi, takutnya nanti perasaan bisa mati dan tidak akan merasakan jatuh cinta lagi.

“Hati memang tak pernah salah tingkah, begitu pula dengam nurani. Mungkin saja pikiran terlalu kacau, tetapi masih bisa teratasi bukan? Tetapi mengapa ini harus terjadi. Mengapa ia harus jatuh pada kaum berjubah yang sebentar lagi akan menjadi imam Gerejawi, bukan imam keluarga yang selama ini di nanti?”

Mas Joni. Tidakkah ada yang lain selain mas Joni? Mengapa hanya wajah mas Joni yang terlintas di kepala, hampir-hampir tak ada laki-laki lain yang lebih selain dirinya. Mengapa senyuman bibir mas Joni masih membekas pada ingatan bahkan sekujur tubuh akan menjadi gemetar ketika nama mas Joni disebutkan.

Pelan-pelan ia menaruh tas pakaiannya, dan merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Menarik napas panjang dan mulai menutup matanya. Ia sepertinya kelelahan, bukan karena perjalanan jauh, tetapi lelah memikirkan kisah masa lalu yang terus  menghantuinya. Beberapa bulan sebelum keberangkatannya ke kampung ibuhnya, dia terliha rapuh dan penuh beban masa lalu. Matanya sayup basah, wajahnya penuh dengan teka teki kisah silan yang sudah tertanam rapih dalam hatinya.

 Kampung ibu dipilihnya sebagai tempat melepas lelah dan segala tetek bengek lainnya.  Ia memilih beberapa bulan menenangkan diri dan melupakan kisah pedihnya bersama mas Joni. Akh..lebih tepatnya hayalan tentang dirinya bersama mas Joni, akhirnya ia kembali ke rumah meski masih kecewa kepada sang ayah  yang juga menyembunyikan status ke-frateran Mas Joni.

“Sudahlah. Jika dulu Ayah dan Ibu sempat cemas dengan keadaanku, kali ini aku tidak ingin memperburuk keadaan, aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dengan memilih jatuh cinta kepada mereka yang tidak akan benar-benar menjadi milik hatiku” katanya dalam hati.

Meski sedikit ragu dengan kesiapannya. Mungkin itu adalah suatu keputusan terbaik. Terlebih lagi akan ada satu orang Frater yang akan tinggal di rumah. Aku tidak ingin karena tingkahku, ayah kembali membohongiku dan bilang yang datang adalah mahasiswa PPL atau semacamnya,

Hari demi hari dilalui dengan baik, mencoba tegar dan tanpa masalah. Tak ada yang memberontak dengan keputusan hati untuk selalu dan lebih betah berada di dalam kamar. Sesekali keluar rumah dan hanya menatap senja dan jika ingin berbicara dengan ibu. Hubungan dengan ayah belum sepenuhnya membaik. Jika ayah berbicara dan bertanya hanya bisa berdiam dan menjawab seadanya.

Frater sudah datang. Ia ganteng dan santun, tetapi tidak bisa menggantikan posisi Joni yang membuat hatiku jatuh cinta berkali-kali.

Sesekali saat Frater mengenakan jubah dan berdiri di depan mimbar, dan membuat hati kembali luka. Namun sakitnya tidak seperti saat pertama kali aku mengetahui bahwa Joni adalah seorang Frater.

Sesekali ia menulis diary untuk mencurahkan perasaannya. Kopi memang manis, tapi akan menjadi pahit ketika ia mengingat masa lalunya, terlebih lagi ketika ia menikmati kopi sendirian di dalam kamar sambil menatap keluar jendela, atau seketika hujan datang. Sesekali air matanya menetes, bersamaan dengan turunnya air hujan.

Tetapi ia berharap air ata itu adalah air mata keikhlasannya untuk Joni yang sebentar lagi akan menerima kaul kekal kebiaraannya. Siapa yang tidak sakit ketika melihat orang yang dicintai harus terpilih menjadi imam. Rasanya sesak, sepertinya ingin menutup mata untuk selamanya. Ia selalu berdoa agar suatu ketika ia bertemu dengan orang biasa, yang sifatnya akan seperti Joni, tetapi semua tergantung yang di atas dan bergantung pada perasaan hatinya. Entah kapan trauma bisa hilang dari ingatan? Tidak lain dan tidak bukan trauma tentang Joni.

“Sebenarnya tidak salah mencintai kaum berjubah. Toh mereka juga manusia yang punya perasaan. Mereka juga jatuh cinta, hanya jatuh cinta tapi lebih menjaga batasannya, artinya tahu statusnya siapa, dan pastinya berpikir dengan matang apa yang akan terjadi jika mereka lebih memfokuskan dirinya untuk wanita yang mereka cintai. Boleh jatuh cinta tetapi tetap harus berhati-hati, jangan sampai sakit hati,”.

Ucapan itu didengarnya dari mulut seorang sahabat baiknya, ketika mereka sedang menikmati secangkir kopi di salah satu tempat favorit. Tak lain dan tak bukan karena sahabatnya juga pernah mengalami sakit hati, karena ia juga pernah mencintai seorang Frater. Ia hanya bisa tersenyum dengan ucapan temannya tanpa berkata apapun.

Ah Tuhan, entah kapan semua akan berakhir ? Apakah ini takdir ? Aku terluka karena tumpukan rasa yang semakin menyakitkan. Mencintai meski tak bisa kumiliki. Aku tak kuat dengan rindu yang semakin menggebu. Aku malu karena merindukan dia yang sebentar lagi akan menjadi seorang kekasih semua orang yang dilayaninya. Rasa cinta kepadanya membuat aku betul-betul menjadi tidak berdaya.

(Gadis penikmat senja, penikmat rindu, penikmat Kopi, penikmat hujan dan penikmat sakit hati)

Penulis: AfrianaEditor: Waldus Budiman