Wabub Nagekeo, Sebuah Kesan

Oleh: Alfret Tuname

Esais dan penulis  

Kesan pertama itu menggoda. Selanjutnya terserah Anda”. Itu bahasa iklan. Tapi memang, kesan yang baik merupakan iklan hidup. Sebagai iklan, kesan itu patut diceritakan. Sebab, kesan baik tersirat inspirasi.

Sosok inspiratif itu bernama Marianus Waja. Sekarang ia menjabat sebagai Wakil Bupati Negekeo. Itu sebuah jabatan politik yang tidak gampang. Di pundaknya, semua doa, harapan dan (bahkan) kritikan publik Nagekeo dialamatkan. Hal itu biasa dalam politik, deru dan debu campur jadi satu. Tujuannya satu, permata bonum communae (kebaikan bersama).

Bonum communae pasti lahir dari pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik bisa dibaca dari pikiran, perbuatan dan gesture-nya. Kata Rendra (penyair), “perjuangan (:perbuatan) adalah pelaksanaan kata-kata”. Sisanya, gesture. Gesture yang baik adalah resultante dari kebiasaan yang mulia. Karena itu, orang bisa menilai seorang pemimpin dari gesture-nya saja.

Gesture seperti itulah yang tersingkap pada Wakil Bupati Nagekeo, Marianus Waja. Bahasa tubuh dan tuturnya mengesankan. Konteks bahasa tubuh, gerakan tubuhnya (kinesics) sangat natural, pelan tapi pasti. Orangnya tidak grasa-grusu. Jarak tubuh (proxemics) yang diposisikan dengan orang lain pun tidak jauh. Itu menimbulkan kehangatan dalam berkomunikasi. Sesekali ada sentuhan (haptics) dengan kawan dialog. Menepuk pundak itu tanda keakraban dan intimasi. Tentu ada tatapan natural yang membuat nyaman suasana kian adem.

Keakraban pun kian lekat sebab Marianus Waja selalu rileks dan santun berbicara. Ia juga pendengarnya baik. Ia menerima dan menyimak dengan sabar setiap ada topik pembicaraan. Sebagai wakil bupati, itu tak membuatnya “serba-didengarkan”. Ia menerima argumen kawan bicara. Kadang terselip guyon yang membuatnya lepas tertawa.

Kesan-kesan akan terbersit di benak siapa saja yang baru menjumpainya. Semua itu pasti mempengaruhi cara kita menilai seorang pemimpin. Penilaian yang baik biasanya bermula dari getaran suara batin atas pengalaman “ada bersama” (mit-sein) dengan sang liyan (:orang lain). Atas pengalaman itu, Marianus Waja dilihat sebagai seorang yang sangat bersahaja.

Kesahajaan Marianus menjadi sempurna karena ia dekat dengan budaya. Budaya Nagekeo membentuknya dan lekat dengan gaya hidupnya. Selendang Nagekeo melingkar di lehernya. Ungkapan adat di pembuka acara resmi sering terucap dari mulutnya. Menurut cerita, ungkapan itu pertanda sapaan, dan meminta restu leluhur untuk kelancaran sebuah acara. Orang yang selalu menyeimbangkan hidup dengan adat dan restu leluhur adalah orang baik.

Gaya hidup orang baik biasanya sederhana. Marianus juga begitu. Tak ada atribut glamour dalam dirinya. Di rumah jabatan, Wabub Nagekeo itu selalu tampil sederhana. Ia sering menggunakan sarung khas Nagekeo dan baju kaus oblong putih. Ada yang bercerita, saking senangnya ia memakai kaus itu, bundaran kerah baju kaus jadi longgar-kedodoran. Ia tetap memakai baju kaus itu. Itulah kesederhanaan hidup seorang politisi hebat.

Politisi itu hebat bukan lantaran harta kekayaannya. Kekayaannya justeru ada pada kesederhanaan dan kesahajaan hidup. Boleh jadi, ia dipilih karena sejarah hidupnya penuh kesederhanaan. Marianus Waja terpilih sebagai wakil bupati bukan karena ambisi kekuasaan. Ia dipilih karena bisa menjadi contoh kesahajaan dalam berpolitik.

Dalam politik, keangkuhan dan ketamakan akan menjadi alarm awal kejatuhan. Dalam petuah Nagekeo, “ana kaju ne bai lewa, kita ngusa aka pogo toa” (anak kayu yang sudah terlalu tinggi, harus dipangkas). Petuah ini patut menjadi internal early warning alarm dalam diri politisi. Tak banyak politisi memiliki kesahajaan dalam hidupnya. Tetapi dengan Marianus Waja, kita tahu kesahajaan itu ada dalam diri politisi.

Kesahajaan bisa menjadi keutamaan (virtue) politik Nagekeo. Keutamaan itu membuat akur dan ranum dalam memimpin. Bahwa ada kestabilan politik lima tahunan. Tak ada saling curiga; tak ada saling intip di antara bupati dan wakil bupati. Antara Bupati  Johanes Don Bosco Do dan Wakil Bupati Marianus pun ada gesture yang adem dan aura saling percaya: senyawa politik berjalan baik.

Senyawa politik adalah bekal politik pembangunan. Pembangunan tak dibajak oleh masing-masing kepentingan. Pikiran dan semangat berada dalam koridor yang sama: menjadikan Nagekeo sebagai kabupaten yang maju dan berdaya saing. Dasarnya adalah semangat “to’o jogho waga sama” (:bahu-membahu) dan “kua kesa boza penu” (:kerja sama) untuk kepentingan masyarakat.

Jadi, jangan ada lagi “tradisi” pecah-belah politik di jelang Pilkada. Tak ada matahari kembar dalam politik suksesi Nagekeo. Mata politik mesti ditujukan pada pembangunan kabupaten yang dijuluki the heart of Flores itu. Bikinlah publik Nagekeo jatuh hati pada “buah pikir” dan “buah tangan” kepemimpinan politik.

Memang, nasib politik pasangan bupati dan wakil bupati masih ditentukan oleh partai politik. Dalam ruang kedap partai politik, keputusan apa saja bisa dimungkinan. Kejutan politik bisa muncul dari ruang kedap itu. Tetapi selalu ada sinar yang bisa menembus ruang kedap itu, yaitu ide dan keutamaan politisi.

Semua politisi pasti punya ide kepemimpinan yang brilian. Tetapi tidak semua politisi memiliki keutamaan yang mulia. Dalam kontestasi politik modern, keutamaan politisi kadang dianggap hanya sebagai pendukung ide politik. Karena itu gesture dan kebiasaan politisi tidak terlalu mendapat perhatian politis. Akan tetapi, Julianna Margulies, “small gestures can have a big impact”. Kemenangan justeru bermula dari penilaian kesan publik atas laku seorang politisi.

Tentang itu, belajarlah dari seorang Marianus Waja. Dengan komunikasi kinesik-nya, ia merubuhkan tembok status politiknya untuk menjadi sesama manusia yang bisa saling bercakap-cakap. Kata Ovid, penyair Romani, “spectemur agendo!”. Salam hormat, Pak wakil!