Antonius Nesi
Dosen Unika St. Paulus Ruteng; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa,
Universitas Negeri Semarang
Hari-hari ini publik disuguhi sidang pidana Ferdy Sambo dan para tersangka lainnya yang tersandung kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Sidang perdana yang berlangsung maraton pada Senin (17/10) hingga Kamis (20/10) memperlihatkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan surat dakwaan terhadap para terdakwa, yakni Ferdy Sambo (FS), Putri Candrawathi (PC), Bharada Ricard Eliezer (RE), Bripka Ricky Rizal (RR) dan Kuat Ma’ruf (KM), dilanjutkan pembacaan dakwaan terhadap sejumlah anggota dan mantan anggota polisi yang terlibat dalam perintangan penyidikan.
Sebagaimana diatur dalam kitab hukum pidana, surat dakwaan JPU terhadap terdakwa dapat ditanggapi kembali dan/atau tidak oleh terdakwa melalui nota keberatan (eksepsi). Dalam kasus Sambo, surat dakwaan dan eksepsi menjadi taruhan awal adu kepentingan. Lepas dari makna yuridis surat dakwaan dan eksepsi itu sendiri, adu kepentingan masing-masing pihak terbaca jelas melalui konstruksi bahasa. Dari lensa linguistik forensik, konstruksi bahasa dalam wujud diksi, kalimat, wacana, dan konteks menjadi piranti krusial yang patut ditimbang dengan sungguh untuk mengurai makna, maksud, dan motif dari tiap dalil, delik, dan putusan.
Bahasa Tergantung Konteks
Terbongkarnya kasus Sambo bermula dari protes keras keluarga almarhum terhadap polisi yang dianggap kurang beralab saat masuk ke dalam rumah duka serta melarang keluarga membuka peti jenazah dengan alasan “aib”. Penggunaan kata tersebut sungguh menggagetkan keluarga. Menurut ibunda dan bibinya, almarhum adalah pribadi anutan keluarga. Hal itu diperkuat kesaksian guru-guru almarhum semasa sekolah, juga warga sekitar bahwa ia tergolong anak yang taat pada Tuhan, rajin, disiplin, dan berprestasi.
Berbagai kesaksian itulah yang memberi konteks terhadap makna kata “aib” yang tampaknya sulit dapat diterima atau ditimpakan kepada almarhum. Konteks itu pulalah yang membuka tabir bagi keluarga untuk mencari tahu kebenaran isi cerita demi hukum dan keadilan. Makna kata “aib” lantas lebih dari sekadar noda, dosa: kata itu memiliki makna sosial dan psikologis, menggerakkan keluarga dan publik untuk menegakkan keadilan dan menuntut pemulihan nama baik.
Di sisi lain, FS yang merekayasa cerita dengan maksud bersembunyi di balik “aib” justru di tengah kegentingan kasus tidak dapat membuktikan kebenarannya. Laporan PC terkait peristiwa pelecehan seksual di Duren III dihentikan penyidik tim khusus Polri karena tidak dapat dibuktikan kebenarnya. Menariknya, jelang hendak dibawa ke rutan Makobrimob hingga berita acara pemeriksaan (BAP), FS masih memanfaatkan cerita itu sebagai dalih “menjaga harkat dan martabat keluarga”. Taruhan FS memang cukup mahal karena ia menempatkan isu seksi itu dalam konteks Duren III yang sudah runtuh berpindah ke rumah Magelang. Lebih mahal lagi, istrinya, PC, dipertaruhkan sebagai korban pelecehan itu.
Sementara itu, dalam tenggat yang krusial sebelum sidang perdana, FS justru mengubah keterangannya terkait detik-detik penembakan terhadap Brigadir J. Di dalam BAP, ia memberikan pengakuan bahwa saat itu ia tidak menyuruh RE untuk “menembak” tetapi ia hanya menyuruhnya untuk “menghajar”. FS juga menyangkal bahwa ia tidak turut menembak korban, tetapi ia hanya menembak ke dinding-dinding rumah untuk “melindungi” RE. Jika pengakuan FS diikat oleh konteks BAP RE, kesaksian RR, ditambah hasil uji balistik, forensik medis dan kesaksian ahli, maka FS nanti harus bertaruh lebih berat terhadap klaimnya itu di depan hakim.
Inilah konteksnya: di dalam BAP dan surat dakwaan RE sebagaimana dibacakan JPU, saat tiba di rumah Saguling RR dipanggil FS di lantai 3 rumah itu, dan di situ RR bersaksi bahwa ia diminta FS untuk menembak Yosua tetapi RR tidak menyanggupinya karena tidak kuat mental; bahwa FS kemudian meminta RR untuk memanggil RE naik ke atas; bahwa sesampai di atas RE ditanya FS ‘kamu bisa nembak Yosua?’, dan dijawab RE, ‘Siap, Komandan’! Setelah RE menyatakan kesanggupannya, FS menyerahkan senapan glock serta menyuruhnya menambah peluru. Jelas dapat dilihat di sini bahwa seruan FS kepada RE di detik-detik penembakan, sebagaimana pengakuan terakhirnya, “Hajar…Cad” tetap memaksudkan perintah, yakni perintah untuk menembak Yosua. Dengan demikian, makna kata hajar sudah lepas dari makna leksikalnya dan justru terikat pada konteksnya (Olsson, 2008; Cummings, 2010).
Argumen Saksi
Publik kini tengah menunggu sidang peradilan dengan menghadirkan saksi. Dalam model argumen Walton (2013), saksi merupakan penguat terhadap klaim. Klaim sendiri merupakan pernyataan posisi. Pernyataan posisi, dalam konteks argumentasi, merupakan proposisi yang disampaikan seseorang sebagai pengakuan. Sebuah klaim, karena itu, harus dibentengi dengan aneka bukti. Bukti-bukti yang dihadirkan boleh jadi menguatkan, tetapi dapat juga melemahkan klaim. Dalam kasus Sambo, hasil forensik medis, asesmen psikologis, dan forensik bahasa dapat menjadi alat bukti sekaligus petunjuk untuk membuktikan klaim.
Saksi merupakan orang yang dapat melihat dan/atau tidak melihat kejadian tetapi dianggap menjadi bagian dari peristiwa, entah karena hubungannya dengan kejadian ataukah karena kompetensinya. Sehubungan dengan itu, saksi dapat berupa pakar, keluarga, atau pun orang lain yang dianggap relevan untuk dapat mengungkap kebenaran. Taruhan kepentingan masing-masing pihak pada akhirnya harus menghadirkan saksi dengan penyajian alat bukti untuk memperkuat klaimnya.
Bagaimanapun, sejak awal dibuka ke publik, Kapolri telah mengambil suatu langkah yang tepat, yakni memerintahkan tim khusus untuk menyelidiki dan menyidik kasus ini menggunakan metode scientific crime investigations. Penerapan metode itu memperlihatkan bahwa suatu tindakan kejahatan, apalagi kejahatan yang dapat menyebabkan kematian seseorang, harus ditangani secara tepat dan objektif, apapun taruhan kepentingan dari tiap pihak.*