Cerpen  

Kepergian Kakek untuk Tambang

Pada pertengahan Januari kemarin, aku memperingati kepergian kakek. Bagiku bukan sekadar mengingat bulan dan tanggal kepergiannya. Tapi perjuangan kakek yang hingga saat ini masih segar dalam ingatanku.

Dia rela telanjang dada di depan para mafia tambang yang datang ke kampung. Rela di hina sesama warga kampung yang mendukung tambang. Kakek tidak tergiur dengan uang ratusan juta yang ditawarkan kepadanya. Dia punya komitmen yang tinggi dan punya prinsip yakni tolak tambang.

Waktu itu umurku masih 13 tahun dan sekarang 15 tahun. Aku melihat dan menyaksikan bagaimana perjuangan beberapa tokoh di kampung termasuk kakek. Mereka getol menolak kehadiran tambang. Hampir setiap malam, di rumah kakek selalu nampak wajah-wajah baru. Dari yang bermata sipit, rambut keriting, kulit hitam bahkan ada yang seperti bule.

Mereka mengendarai mobil, lengkap dengan sopirnya. Penampilan mereka tidak seperti orang-orang di kampung. Aku menduga pasti mereka datang dari kota. Sepatu mereka sangat licin, bersih, dan rata-rata berwarna hitam.

Malam itu, aku masih ingat malam Rabu, aku diminta oleh kakek untuk menginap di rumahnya. Awalnya ibu menolak permintaan itu. Ibu takut aku diculik para tamu yang sering bertandang ke rumah kakek. Namun, setelah mendengar penjelasannya, ibu membiarkan aku pergi.

“Kamu cukup dalam kamar saja. Atau bantu nenek di dapur untuk buat kopi jika ada tamu,” kata kakek saat kami dalam perjalanan menuju rumahnya yang sudah reot.

“Tapi aku takut diculik kek?” balasku dengan wajah penuh ketakutan.

Kakek tersenyum. Di matanya aku melihat perjuangan yang menyala-nyala.

“Mereka orang baik-baik ko,” katanya penuh keyakinan.

Sekitar pukul 18.21 WITA, aku terbangun dari tidurku. Suara mobil Verosa yang knalpotnya recing meraung-ruang di depan rumah kakek. Pengemudinya sengaja menekan gas dobel-dobel. Suara anjing melolong-lolong di mana-mana. Nenek langsung masuk ke kamarku.

“Syukur kamu sudah bangun nak. Ada tamu. Ayo bantu nenek buat kopi di dapur,” pinta nenek.

Aku melepaskan selimut lalu mengikutinya ke dapur. Nenek sudah memasuki usia 56 tahun dan lebih tua dari kakek. Namun senyumnya tidak pernah pudar saat menerima tamu yang walaupun wajahnya sudah keriput.

Dua orang berperawakan tinggi turun dari mobil. Satunya mengenakan jas hitam, celana tisu, dan sepatu Vantofel. Sementara satunya lagi, memiliki postur badan yang tinggi, kekar, botak, mengenakan kaca mata hitam. Di tangannya ada sebuah koper yang kelihatannya cukup mahal.
Kakek menyambut mereka dengan senyum. Lalu mempersilakan dua tamu ini duduk.

“Nabas, kami tidak mau lama-lama dan tidak usah buat minum,” kata laki-laki yang mengenakan jas hitam.

Aku mengintip pembicaraan mereka dari sela-sela gedek. Lalu laki-laki botak di samping membuka koper. Di dalam berisikan uang berwarna merah semua.

“Nabas, ini semua milikmu. Asalkan kamu bisa meredamkan penolakan warga di sini terhadap tambang,” katanya dengan nada yang cukup keras.

“Kau ambil semuanya. Ini ada 100 juta. Kau tidak usah pikir untuk tokoh-tokoh agama. Mereka sudah dapat bagian. Untuk pemerintah itu urusan kami,” katanya dengan nada memaksa.

“Aku tidak butuh ini. Aku tetap pada pendirian ku. Tolak tambang,” jawab kakek dengan nada tegas.

“Cukup. Kau yang buat kami susah selama ini. Kau maunya apa,” timpal laki-laki botak.

Aku semakin takut. Bulu kuduk merinding saat laki-laki botak berdiri dan menunjuk-nunjuk ke arah kakek. Aku takut sekaligus marah. Mengapa mereka begitu kasar.

Nenek memegang pundakku. Aku kaget dan hendak berteriak.

“Jangan bersuara,” bisik nenek ke telingaku.

Suasana jadi hening. Aku semakin takut dan hanya bisa berdoa dalam hati.

“Nabas bagaimana. Kau maunya apa,” bentak si botak.

Kakek tetap tunduk dan tidak mengeluarkan suara sekalipun. Badanya tidak bergerak.

“Dasar sial, kau Nabas,” laki-laki yang mengenakan jas mengumpat sambil melangkah keluar rumah dan diikuti oleh si botak.

Mobil Verosa kembali meraung-raung depan rumah kakek dan hilang di gelapnya malam.
Setelah tidak terdengar lagi suara mobil, aku dan nenek perlahan-lahan mendekati kakek.
Aku berteriak histeris. Sebilah pisau menancap tepat di bawa tulang rusuknya. Darah mengalir membasahi kursi yang diduduki oleh kakek.