Oleh: Sil Joni
Mengurai sejarah perempuan, sebenarnya membongkar berbagai bentuk represi dan diskriminasi. Kultur patriarki menjadi ‘tersangka’ mengalirnya aneka bentuk penindasan perempuan dalam lintasan sejarah manusia.
Ribuan tahun kaum Hawa dipasung dalam jeruji tradisi patriarki. Perempuan tak pernah diakui sebagai manusia utuh. Status mereka selalu berada di bawah bayang-bayang laki-laki. Mereka diperlakukan sebagai makluk pelengkap penderita bagi kaum Adam.
Indonesia, dalam alur sejarahnya, bukanlah sebuah negeri yang ramah jender. Borok kultur patriarki telah menggores luka dalam dada para wanita kita. Model dan modus penindasan itu dalam level tertentu masih terlacak hingga detik ini.
R.A. Kartini adalah manusia langka di jamannya. Ia tampil ke ruang publik yang dianggap tabu kala itu untuk mewartakan misi emasipatoris dan liberatif bagi perempuan Indonesia. Perjuangan Kartini membuahkan hasil yang gemilang. Kini, para wanita Indonesia dengan bebas berkiprah dalam domain publik melalui rupa-rupa profesi.
Tulisan ini tidak berpretensi mengkultuskan profesi tertentu sebagai representasi sosok Kartini Zaman now. Perempuan yang ‘berkiprah’ dalam ruang politik tidak serta merta dibabtis sebagai ‘Kartini masa kini’ jika gagal mengejawantahkan roh perjuangan Kartini.
Saya berpikir ‘skop’ perjuangan Kartini jauh lebih luas dan dalam dari sekadar ‘mendapatkan’ kursi kuasa. Betul bahwa politik merupakan medan pemanifestasian idealisme kaum perempuan untuk memperjuangkan ‘sisi emansipatoris dan liberatif’ ala Kartini. Namun, kita tidak bisa membuat semacam ‘generalisasi’ bahwa perempuan yang terjun ke dunia politik merupakan reinkarnasi dari spirit Kartini itu.
Tak diragukan lagi bahwa ‘perempuan Indonesia’ saat ini umumnya sudah menikmati buah dari perjuangan Kartini dan kawan-kawan. Sudah tidak terhitung kisah ‘keunggulan dan dominasi’ kaum perempuan dalam berbagai sektor kehidupan. Mereka telah mengeksplorasi kapasitas personal untuk bersaing dalam ranah publik secara kreatif dan produktif.
Kita sedang menyaksikan semacam ‘fenomen kebangkitan perempuan’ dalam berbagai lini kehidupan. Pekerjaan yang pada era sebelumnya lebih dimonopoli lelaki, kini fakta itu sudah berubah. Tidak ada lagi ‘bidang’ yang menjadi milik eksklusif laki-laki. Perempuan dan laki-laki tidak hanya memiliki ‘martabat dan derajat’ yang sama, tetapi juga dilengkapi dengan fakultas personalitas yang relatif setara.
Harian Kompas edisi 20/4/18 hal.1, melansir berita tentang komposisi tim peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dari aspek jender. Diberitakan bahwa jumlah perempuan peneliti di LIPI lebih dominan dari laki-laki.
Fakta “keunggulan” perempuan di atas tentu hanya satu bagian kecil dari narasi “kebangkitan” kaum perempuan dewasa ini. Untuk diketahui, gerakan emansipatoris dan equalitas jender berimplikasi pada pemanifestasian potensi dan kapasitas “kaum hawa” secara kreatif dan liberatif.
Indonesia boleh dibilang negara “yang telat sadar” akan kesetaraan gender ini. Kesadaran itu baru bersemi ketika figur perempuan sederhana R.A Kartini bertindak melawan arus kultur patriarki pada zamannya.
Ekspresi “resistensi” terhadap tembok budaya kelelakian tertuang dalam media yang sangat simpel dan murah: surat-menyurat. Surat-surat tersebut telah dibukukan dengan judul yang sangat inspiratif: “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Apakah spirit perjuangan plus perlawanan Kartini masih relevan dan beresonansi dahsyat di era digital ini? Bagaimana konkretisasi dari pengejawantahan api idealisme Kartini di zaman revolusi industri 4.0? Masih adakah “perempuan zaman now yang konsisten “meneruskan” secara progresif sumbu perjuangan Kartini cum suis?
Kita berharap agar semakin banyak perempuan yang terjuan ke gelanggang politik. Tentu, politik yang dimaksudkan di sini tidak hanya sebatas ‘perebutan kekuasaan’, tetapi pelbagai aktivitas politik yang bertujuan menyuarakan dan mengangkat martabat kaum perempuan. Tegasnya, kita butuh kader perempuan aktivis yang secara militan membongkar dan melawan pelbagai praktik budaya dan politik yang cenderung ‘merendahkan’ kaum perempuan.
Akhirnya, kita diajak untuk mengenang dan mendoakan Kartini. Raga dari ‘pejuang emansipasi’ itu boleh tiada, tetapi kartinisme (spirit perjuangannya) melekat abadi tidak hanya dalam dada kaum hawa, tetapi pada semua orang yang berkehendak baik untuk memperjuangkan sisi kesetaraan dalam pelbagai bidang kehidupan.
Setiap tahun, pada tanggal 21 April bangsa Indonesia tak pernah lupa merayakan dan memperingati Hari lahir dari ibu R.A. Kartini. Tentu, peringatan “Hari Kartini” tidak sekadar seremonial tahunan dan momental yang nirmakna. Kenangan akan sosok Kartini menjadi momentum penajaman motivasi dan komitmen para perempuan untuk tampil setara dan bahkan melebihi kaum adam.