Di samping itu, kata Rudy, ketersediaan dan penempatan guru yang profesional masih belum tercukupi. Hal ini dialami di hampir semua Kabupaten di Nusa Tenggara Timur.
Di Manggarai Timur misalnya, ada sekolah SMP yang memiliki total guru dan pegawainya 19 orang, tapi cuma memiliki satu orang PNS/ASN, selebihnya adalah guru/ pegawai komite. Dari segi biaya, hal ini sangat membebani orang tua siswa karena harus membayar iuran komite.
Masih di Manggarai Timur, ada sekolah (SMPN) yang sudah hampir 8 tahun berdiri dan memiliki enam rombel, tiap rombel terdiri dari 25-30 peserta didik namun cuma memiliki 1 ruangan kelas permanen yang dibangun pemerintah. Rombel yang cukup banyak itu terpaksa harus nebeng di sekolah SD terdekat yang kebetulan memiliki gedung bekas yang tidak terpakai.
Keterpurukan NTT di bidang pendidikan ini selain disebabkan oleh faktor 3T dan SDM di atas, juga disebabkan oleh ketersediaan sarana dan prasaran yang belum memadai di setiap sekolah.
Dikatakannya, masih ada sekolah yang menggunakan gubuk reyot sebagai tempat belajar, ketika hujan badai melanda kumpulan anak bangsa yang sedang belajar di sekolah tersebut terpaksa bubar dan lari pontang panting, lantaran atap sekolahnya seakan dipindahkan secara paksa ke sebelah bukit oleh angin topan.
Bukan cuma bangunan atau kondisi fisik, kata dia, sekolah yang sangat minim dan memprihatinkan, kondisi non fisik juga tidak kalah miris. Misalnya, jangkauan signal internet yang terkesan masih malu-malu untuk melintasi sekolah yang berada di pelosok desa dan di sudut dusun, sehingga ketika Assemen Nasioalan Berbasis Komputer (ANBK) diterapkan, ada sekolah yang siswa dan gurunya harus membangun tenda darurat di pinggir hutan untuk menjerat signal internet saat ujian berlangsung.
Menurut Rudy, ada juga peristiwa seorang guru terpaksa harus menggendong siswanya di pundak sang guru hanya mau menangkap jaringan internet.
Bagi para guru Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti (PAK-BP) Sekecamatan Rana Mese – Manggarai Timur, walaupun mengalami kondisi serba terbatas seperti ini, toh harus tetap memiliki idealisme dan semangat pengabdian guna meningkatkan mutu pendidikan di wilayah kami, minimal dalam mata pelajaran yang kami ampuh.
Kegiatan penguatan kapasitas guru, seperti kemampuan menyusun sosial HOTS merupakan bagian upaya meningkatkan mutu pendidikan di wilayah Manggarai Timur, terutama dalam bidang Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti.
Ia berharap, kegiatan seperti ini senantiasa berkesinambungan untuk dijalankan, sehingga guru-guru memiliki kemampuan dasar dan mengembangkan keterampilan dirinya sebagai pembelajar yang baik pada masa yang akan datang.
Kegiatan penguatan kapasitas seperti workshop ini merupakan salah satu bagian agar Manggarai Timur bisa meningkatkan mutu pendidikannya.