Moderasi Beragama: Jangan Sampai Salah Kaprah

Resolusi Nasional Moderasi Beragama

Pertanyaan penting yang perlu kita ajukan dan kita refleksikan bersama adalah seperti apakah atau bagaimanakah konsep moderasi beragama ini dapat ditempatkan dalam kerangka hidup beragama dan secara luas dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara? Apakah aspek yang perlu dimoderasi tersebut: apakah agama atau hidup beragamanya? Tanpa memahami jawaban atau pijakan yang tepat atas pertanyaan tersebut konsep moderasi beragama dapat disalahgunakan atau dapat secara keliru dipahami.

Di sini penting untuk dilihat bahwa moderasi beragama bukanlah sebuah ideologi tetapi lebih sebagai cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan agama agar senantiasa berada dalam jalur yang moderat. Artinya tidak berlebihan dan juga tidak memiskinkan substansi ajaran agama itu sendiri. Moderasi beragama dengannya cara beragama jalan tengah. Jadi yang dimoderasi di sini adalah cara beragama, bukan agama itu sendiri. 

Konsepsi moderasi beragama dapat dipahami dalam dua format penting ini. Pertama-tama adalah pengakuan bahwa dalam diri agama-agama itu sendiri telah berakar aspek-aspek moderasi beragama. Format pertama ini sangat mengandaikan setiap umat beragama sadar dan memahami aspek-aspek moderasi dalam ajaran agamannya. Sehingga hidup beragama tidak berdasarkan suatu ketaatan iman yang buta tetapi mampu membuka diri untuk menyelami ajaan agamanya secara objektif. Kedua, kesadaran akan aspek moderat dalam ajaran-ajaran agama ini kemudian berbuah dalam cara hidup beragama dari penganut-penganutnya. Buah tersebut nampak dalam sikap toleransi, kesediaan untuk membangun dialog, saling membantu, solider dan kerja sama. Sehingga, perbedaan keyakinan dan iman tidak menjadi penghalang bagi terselenggaranya hidup berdampingan dalam keberagaman. 

Sebagai contoh, dalam tradisi dan Ajaran Sosial Gereja Katolik sendiri, konsepsi gagasan moderasi beragama ini dapat ditemukan dalam bentuk kesediaan membangun dialog serta keterbukaan untuk menerima yang lain tidak sebagai musuh tetapi sebagai sahabat. Dalam kitab suci, terdapat kisah Yesus yang terbuka untuk begaul dan berdialog dengan kaum atau orang yang dianggap kafir. Yesus umpamanya memperhatikan orang Samaria (Luk. 17: 11-19) dan berkomunikasi dengan seorang wanita Samaria, yang dalam masyarakat Yahudi taat waktu itu dilihat sebagai kaum kafir (Yoh. 4: 1-42). Selain itu, terdapat juga kisah Yesus yang mengagumi iman Nikodemus, seorang pemimpin pasukan Romawi. Puncaknya, kisah wafat dan kebangkitan Yesus adalah bukti karya kasih dan kemanusiaan luhur tanpa memandang bulu atau mengkafirkan sesama yang lain.

Dengan menghidupi aspek-aspek moderasi beragama, seseorang diharapkan tidak tenggelam dalam kubangan ekstrimisme. Orang atau subjek yang mampu mengamalkan spirit moderasi beragama disebut pribadi yang moderat. Seorang yang moderat mampu memilah area mana yang merupakan pokok-pokok ajaran agama dan wilayah tafsir ajaran agama yang terbuka terhadap perbedaan. Kemampuan atau daya selektif hanya mungkin apabila umat beragama mampu mempelajari dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik.

Pribadi yang moderat selalu berada di tengah, yang mana ia tidak mengultuskan secara ekstrim dogma agama sambil tetap memberi ruang yang seimbang akan peran akal budi dan juga tidak memaku rasionalisme secara mutlak sehingga mengabaikan semantika agama. Ringkasnya, resolusi moderasi beragama bertujuan untuk mendorong subjek kembali pada esensi terdalam setiap ajaran agama yaitu memanusiakan manusia.