Jangan (sampai) Salah Kaprah
Berikutnya, mari kembali pada judul artikel saya di atas: Moderasi Beragama, Jangan Sampai Salah Kaprah. Judul yang cukup provokatif tersebut bagi saya penting agar kita tidak hanya secara legawa mengimplementasikan narasi-narasi sejuk moderasi beragama, tetapi mampu menarik pukulan guna merumuskan pertanyaan-pertanyaan penting demi penyempurnaan narasi resolutif tersebut. Apakah resolusi moderasi beragama, misalnya, bisa secara salah kaprah diartikan? atau Mengapa reolusi moderasi beragama bisa salah kaprah atau pada aspek-aspek manakah resolusi moderasi beragama tersebut bisa saja salah kaprah atau keliru?
Pertama-tama, perlu ditekankan bahwa gagasan “moderasi beragama”, walau tampak sebagai jargon sederhana sesungguhnya berisikan muatan teoretis besar serentak abstrak yang tidak langsung final dan siap pakai (taken for granted) kalau diaplikasikan. Soal pertama yang muncul adalah seputar/terkait term moderasi itu sendiri bapa. Pada bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa moderasi berarti berada di tengah-tengah atau moderat. Term ini kalau tidak jeli dipahami bisa dimengerti sebagai posisi netral atau pas di tengah-tengah tanpa ada keberpihakan yang jelas.
Netral dalam konteks dunia ilmiah – akademis dapat dipersepsi sebagai wilayah free value juga dipahami sebagai bebas nilai. Dalam sejarah seringkali sikap netral atau di tengah- ini berbahaya karena bisa berarti upaya mendiamkan persoalan dan usaha melepaskan diri dari tanggung jawab moral, sosial dan intelektual atas persoalan bersama. Secara ilmiah sikap bebas nilai seringkali dikritik sebagai sikap bungkam serentak persetujuan atau dukungan terhadap sesuatu, kendatipun yang didukung tersebut adalah sesuatu yang jahat atau keliru. Dalam sejarah, banyak kritik atau protes diarahkan terhadap agama dan kelompok akademisi-intelektual karena keteguhan institusi-institusi tersebut dalam mempertahankan sikap bebas nilai atau netral atau di tengah-tengah.
Padahal patut dicatat bahwa di hadapan situasi atau kondisi tertentu justru agama dituntut untuk tidak netral atau hanya berada di tengah-tengah saja. Ketika berhadapan dengan penderitaan atau persoalan-persoalan kemanusiaan kronis, agama tidak bisa hanya berada di posisi tengah tengah saja. Agama hanya bisa menutrisi kemanusiaan justru ketika agama punya posisi atau opsi keberpihakan yang jelas, dalam hal ini tentu pada korban atau kelompok yang rentan. Sebagai contoh Gereja Katolik di Flores umpamanya tidak bersikap netral saat berhadapan dengan sergapan usaha-usaha ekstraktif eksploitatif yang mengorbankan banyak orang seperti pertambangan dan pariwisata.
Kedua, moderasi beragama juga tidak cukup dijelaskan dalam bangunan narasi aksentuatif seperti yang “tidak berlebih-lebihan” sekaligus yang tidak “kekurang-kurangan”. Moderasi beragama tentu tidak bisa dibaca sebagai dekadensi atau bahkan permisivitas dalam beragama. Namun, mereka-reka bangunan proporsional antara aspek yang excessive dan anomali dalam ekspresi hidup keagamaan seseorang adalah soal lain yang patut dijawab. Bagaimana misalnya membayangkan suatu standar hegemonik untuk bisa memilah mana wilayah pokok agama yang harus dibela secara teguh, dan mana wilayah tafsir ajaran agama yang terbuka bagi perbedaan interpretatif. Dengan kata lain resolusi moderasi beragama, justru bisa beraroma elitis apabila tidak memperhitungkan marginalitas pemahaman agama umatnya.
Ketiga, dijelaskan bahwa aspek yang dimoderasi adalah ekspresi hidup beragama dan bukan agamanya. Ini juga konsep yang bagus tapi juga abstrak yang perlu secara hati-hati dibaca atau ditelaah. Bagaimanapun juga aspek yang keluar atau kelihatan (hidup atau ekspresi beragama seseorang) adalah ekspresi atau cerminan dari isi iman atau pemahaman beragamanya. Seorang fundamentalis religius yang berwatak ideolog misalnya akan susah menerima atau bahkan akan mengganggap resolusi moderasi beragama sebagai ancaman atau pendobrak kemapanan. Berhadapan dengan kelompok aliran agama atau denominasi religius ekstrimis, membayangkan sebuah arena diskursus atau transfer pengetahuan secara terbuka tampaknya sulit.
Moderasi beragama dengannya tidak bisa dihomogenisasi atau disosialisasikan sebagai narasi bersama yang sifatnya holistik dan serempak kepada masyarakiat tanpa memperhitungkan aspek-aspek khusus di atas. Dengan kata lain, moderasi beragama bisa saja kehilangan ruh-nya apabila tidak memperhitungkan aspek komunikan atau audience dengan pelbagai latar belakang sosial, keagenan, pendidikan, kepentingan, dsb.
Ke-empat, dalam kaitan dengan poin ketiga penting juga bagi kita membedakan term ekstrem yang berarti berlebihan-lebihan dengan term radikal atau mengakar. Seringkali orang menyamakan begitu saja istilah ekstrem dan radikal. Justru setiap umat beragama didorong untuk semakin berakar atau radikal dengan ajaran agamanya yang berarti memahami ajaran agamanya masing-masing secara fundamental dan utuh.