Oleh: Alfred Tuname
(Sebuah Essay)
Jangan seperti tahi kambing. Pembangunan itu harus seperti tahi kerbau!
Kira-kira begitulah secara gamblang apa yang dikatakan Viktor B. Laiskodat, di Haumeni Ana, TTU, tahun 2019 silam. Haumeni Ana adalah sebuah lokasi perbatasan antara Indonesia dan Distrik Oekusi, Timor Leste.
Di Haumeni Ana, Gubernur NTT menarik garis batas pembangunan dengan analogi: tahi kambing dan kerbau. Analogi ini membuat publik lebih gampang paham soal politik-ekonomi gubernur. Bahwa, pembangunan itu mesti komprehensif dan fokus. Mirip skema “total football” dalam sepak bola.
Kalau seperti tahi kambing, pembangunan menjadi tidak terarah, pecah-pecah, dan porsinya pun sedikit-sedikit. Tak tuntas jadinya. Satu belum selesai, raba satu lagi. Raba kiri-kanan, akhirnya tak habis-habis.
Dampak pembangunan a la tahi kambing pun menjadi tidak terasa. Publik tidak merasakan pembangunan. Sedikit pembangunan sama artinya dengan tak ada perubahan apa-apa. Kalau pembangunan itu berarti “kehendak untuk memperbaiki” (Li, 2007), maka perbaikilah semuanya. Jangan tanggung!
Contoh yang paling dekat adalah jalan provinsi di wilayah Elar Selatan, Manggarai Timur. Sebelum “rezim” Victory-Joss, ada perbaikan jalan Mukun-Mamba, tetapi seperti “tahi kambing”. Peningkatan jalan aspal hanya di setiap jalan tanjakan dan tikungan. Itu pun tanpa got dan tembok penahan bahu jalan.
Tahi Kerbau a la Victory-Joss
Pada rezim Victory-Joss, jalur-jalur jalan provinsi di NTT, diperbaiki secara total. Tak ada yang ketinggalan. Bangun satu kali dan serentak. Sekarang, jalan provinsi di jalur Mukun-Mamba sudah mulai terasa. Begitu pun di jalur Soa-Riung, Kabupaten Ngada, jalan provinsinya sudah diperbaiki. Begitu pun di daerah lain di NTT, ada perbaikan.
Sekitar 1.800 km jalan provinsi akan dikebut hingga akhir 2022. Jalan hotmix akan mempermudah konektivitas, mempercepat produktivitas ekonomi. Jalan raya yan baik dan handal akan menunjang misi NTT bangkit dan sejahtera. Tentu tidak itu saja, infrastruktur lain juga perlu dibangun. Tetapi tuntaskan dulu persoalan jalan.
Tidak salah juga apabila Boni “Bonjer” Jebarus, politisi asal Matim itu mengapresiasi kerja Pemrov NTT. Ia tentu sadar, bahwa selama rezim Victory-Joss, banyak perubahan yang dirasakan masyarakat NTT. Bagi politisi, urusan apresiasi itu urusan kecil. Tetapi perlu dibiasakan. Dijadikan habitus. Politisi kita terlanjur miskin apresiasi, limpah kritik. Padahal, (kadang) kritik itu pun bagian dari persoalan.
Pembangunan itu juga soal komunikasi politik. Kritik dan apresiasi memang bagian dari komunikasi politik. Sayangnya, komunikasi politisi kita tampak timpang. Kebijakan bagus, minim apresiasi; kebijakan tak populis, bertubi-tubi kritik. Kritik pun bukan atas dasar rasionalitas kebijakan, tetapi pada fragmen sentimentalitas politik.
Itulah realitas pembangunan dan politik di sekitarnya. Publik menikmatinya sebagai bagian dari sinetron politik. Publik sudah sungkan nimbrung pada urusan politik. Yang diinginkan hanya pembangunan itu benar-benar ada dan untuk dimanfaatkan.
Fundasi Pokok Pembangunan
Fundamen pembangunan adalah kepentingan rakyat banyak. Tak mungkin ada pembangunan tanpa dasar kepentingan rakyat banyak. Suatu proyek pasti mendapat penolakan total apabila usulnya politis, asal ada dana, minus manfaat bagi rakyat banyak. Berbeda kalau mayoritas rakyat setuju, ada dananya dan usulnya untuk kesejahteraan, proyek pembangunan pasti berjalan lancar.
Persetujuan mayoritas rakyat atas proyek pembangunan itu juga bisa connect dengan analogi pembangunan a la tahi kerbau. Persetujuan itu tanda kesatuan tekad untuk lebih baik. Kepentingannya tidak terpecah-pecah, tetapi utuh demi kebaikan bersama.
Maka mereka yang menolak pembangunan adalah segelitir yang mencoba mengais keuntungan pribadi. Semacam ada pemaksaan kehendak demi kepentingan sendiri. Mereka ini sejati telah terlepas dari “komunitas” politik bersama, tetapi memakai jubah “atas nama rakyat” dalam aksi penolakannya.
Mungkin itulah risiko kecil dari politik pembangunan a la tahi kerbau. Selalu ada segelintir yang terlambat jatuh dan merasakan hangatnya kerbesamaan dalam kepentingan. Segelitir itu hanya melihat dari jauh, tidak “in” dalam merasakan apa yang dibutuhkan mayoritas rakyat. Lucunya, mereka justru lebih “pintar” mengulik apa yang dirasakan masyarakat. Aneh!
Yang pasti, masyarakat pasti membutuhkan pembangunan. Pemerintah wajib melaksanakan pembangunan. Pembangunan untuk semua, tanpa kecuali. Kalau pembangunan itu bagian dari pelaksanaan janji politik elektoral, maka lakukanlah itu dengan sungguh. Apa pun caranya, asal sesuai regulasi!
Rakyat tak mau politik pembangunan semacam hangat-hangat tahi ayam. Semangat di awal, hilang di jalan; kuat di konsep, payah pada pelaksanaan. Janji perubahan pun semacam pepesan kosong. Jalan di tempat. Padahal ujung pembangunan itu adalah perubahan, perubahan menjadi lebih baik. Kalau tahi kucing tak penah berubah jadi coklat, setidaknya bisa jadi pupuk organik. Sekian!