Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

RKUHP Banyak Pasal Kontroversi, HMI Cabang Kupang Komisariat Hukum Undana Gelar BIUS

Kupang, GardaNTT.id – Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Kupang Komisariat Hukum UNDANA, melaksanakan kegiatan Bincang Serius (BIUS) dengan tema ”Memahami Problematika RKUHP (Kepastian dan Keadilan)”, melalui Zoom pada Kamis lalu (07/07/22).

Narasumber pada kegiatan ini adalah Kaprodi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kupang, Andi Irfan, S.H.I,. MH, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang dan Pakar Hukum Pidana, Deddy R. Ch. Manafe, SH,.M.Hum,.

Desa Haju

Sambutan Ketua HMI Komisariat Hukum Undana, Kaisar Abu Ubaidah menyampaikan bahwa, problematika bangsa ini yang sedang hangat di bicarakan yakni tentang RKUHP yang dinilai banyak pasal yang kontraversi. Oleh karenanya merasa perlu untuk melakukan kegiatan ini dengan tajuk ‘Bincang Serius (BIUS)’.

“Tentunya kita tahu bersama bahwasanya alasan utama dalam merumuskan RKUHP adalah untuk menggantikan KUHP yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda,” jelasnya.

Ketua HMI Komisariat Hukum Undana, Kaisar Abu Ubaidah

Akan tetapi, kata Kaisar, RKUHP yang kemudian telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2019 lalu melalui Putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006, kini telah kembali di usungkan Pemerintah menjadi Prolegnas prioritas yang dimana terdapat banyak pasal di anggap bersifat elastis atau pasal karet.

“Misalnya pada Pasal 218 soal penghinaan harkat dan martabat seorang Presiden dan Wakil Presiden. Pasal seperti ini jugalah yang telah digunkan pada masa kolonial, dimana dahulu pasal ini diterapkan pada para pejuang kemerdekaan, misalnya Bung Karno pernah dijerat dengan pasal itu karena tindakannya membacakan pidato pembelaan ‘Indonesia Menggugat‘ yang di anggap ingin menggulingkan pemerintahan Hindia Belanda pada masa itu,” ungkap Kaisar Abu Ubaidah.

Ia juga mengatakan, tentu saja kejadian masa lalu tidak ingin terulang lagi pada masa kini dan masa yang akan mendatang.

Pemateri Andi Irfan menjelaskan bahwa, perkembangan pembahasan RKUHP pertama kali disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke DPR pada Tahun 2012. Selanjutnya, kata Andi Irfan, Presiden Joko Widodo menyampaika kembali ke DPR dan menerbitkan Surat Presiden Nomor R-35/Pres/06/2015 tanggal 5 Juni 2015 yang ditindak lanjuti secara intensif selama lebih dari 4 (empat) tahun.

Menurut dia, perkembangan RKUHP saat ini pemerintah melakukan penyempurnaan dengan melakukan reformulasi dengan memberikan pasal-pasal kontroversial berdasarkan masukan berbagai unsur masyarakat.

“Saya ingin memaknai seperti ini, siklus oligarki pada fase ini kemudian kita menhadapi suatu dilema transisi apakah kita akan lanjut melangkah pada siklus polibios yaitu dengan mengikuti demokrasi dimasa mendatang, atau jangan-jangan kita jadikan masa transisi ini sebagai episentrum untuk terjun bebas ke kutub new otoritarinisme,” tegas Andi Irfan.

Andi Irfan menghimbau, sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam  untuk tetap menjaga daya kritisnya dan tetap menjaga serta mengawal jalannya pemerintahan ini walaupun agar terus kian berganti rezim.

Pada kesempatan yang sama, Pemateri Deddy R. Ch. Manafe, menyampaikan bahwa banyak pasal RKUHP berpotensi multitafsir dan bersifat pasal karet.

Menurut pakar hukum pidana ini, Pasal-pasal tersebut juga membungkam kebebasan masyarakat dalam berekspresi dan berpendapat. RKUHP juga berpotensi melanggar hak privasi karena mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang dalam ranah privat mereka.

Ia menambahkan, RKUHP harus nya dibentuk berdasarkan Pancasila, akan tetapi penerapan yang ada dalam RKUHP jauh dari nilai Pancasila, dengan kondisi KUHP saat ini maka kita perlu memiliki KUHP nasional yang sesuai dengan nilai Pancasila, Konstitusi, hak asasi manusia, dan juga prinsip-prinsip hukun yang ada di masyarakat.

“Harapan kami pemerintah sebaiknya mengevaluasi lebih dulu KUHP saat ini diterapkan. Banyak pasal dalam RKUHP sudah tidak relevan dan harus dihapuskan. Banyak pula pasal yang tumpang tindih dengan undang-undang sektoral lain sehingga akan menimbulkan inskonsitensi dan ketidakpastian hukum.” tutup Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang.