Oleh: FLORY ATU*
Di satu pihak, hukuman mati dianggap baik sebagai efek jerah bagi para pelaku kejahatan untuk tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari.
Namun di pihak lain, hukuman mati dianggap tidak tepat karena merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
Karena itu, penolakan terhadap hukum pidana tersebut masih terus disuarakan oleh berbagai pihak hingga saat ini.
Salah satu lembaga yang baru-baru ini menyuarakan aspirasinya ialah Komnas Perempuan.
Dilansir dari detikcom (14/11/2022), dalam rencana pergelaran rapat untuk membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh Komisi III DPR, Komnas Perempuan mengusulkan urgensi menghapus ketentuan pidana mati.
Ada tiga alasan yang diajukan, yakni hukuman mati merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM); Kebanyakan dalam kasus perempuan terpidana mati, bukan merupakan pelaku utama dan sebagian besar menjadi korban kekerasan berbasis gender; dan pemenuhan keadilan dan pemulihan korban tidak dapat dipenuhi dengan hukuman mati.
Berhadapan dengan dua pendapat yang berbeda di atas, muncul pertanyaan perihal pendapat manakah yang harus dituruti.
Sejalan dengan Komnas Perempuan, hemat penulis pendapat kedualah yang lebih proporsional untuk dituruti mengingat bahwa manusia dilahirkan secara bebas dan memiliki hak untuk hidup yang tidak boleh dieliminasi oleh siapapun, termasuk negara.
Hak hidup merupakan sesuatu yang terberi, bukan sesuatu yang diberikan oleh negara. Karena itu, negara tidak mempunyai hak untuk mengambil kehidupan seseorang dengan alasan apapun.
Indonesia sebagai negara demokrasi justru harus menjamin hak asasi warga negaranya yang paling luhur ini. Ada tiga keberatan terhadap legalnya hukuman mati di Indonesia yang diajukan dalam tulisan ini.
Hukuman Mati Bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM dan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
Salah satu bukti peradaban manusia adalah kesadarannya akan martabat alamiah dan hak-hak dasarnya yang tidak boleh dicabut oleh siapapun.
Kesadaran ini termanifestasi dalam pernyataan dunia untuk melindungi Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 30 pasal.
Pernyataan itu disebut Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights). Salah satu poin penting yang diproklamasikan dalam Deklarasi Universal HAM tersebut adalah hak untuk hidup, yakni hak yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun termasuk negara.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa hukuman mati yang masih berlaku dalam sistem peradilan pidana di Indonesia tidak sesuai dengan semangat global yang berusaha menghargai hak hidup sebagai hak kodrati manusia.
Selain bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM, hukuman mati juga bertentangan dengan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil and Political Rights).
Salah satu hak yang termasuk dalam Konvenan tersebut adalah hak untuk hidup. Menurut Ifdhal Kasim (2001), hak-hak sipil dan politik merupakan hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang mesti dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara.
Pemenuhan hak-hak ini menjadi tanggung jawab negara. Dengan demikian, pemberlakuan hukuman mati di Indonesia menjadi indikasi inkonsistensi negara Indonesia terhadap konvenan internasional yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights.
Hukuman Mati Bertentangan dengan UUD 1945
Pelegalan hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia secara eksplisit menyalahi aturan penyusunan perangkat hukum karena bertentangan dengan sumber hukum tertinggi atau dasar konstitusi, yakni UUD 1945.
Dalam pasal 28A UUD 1945 ditegaskan bahwa hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Sebagai salah satu hukum pidana yang statusnya berada di bawah sumber hukum tertinggi, hukuman mati tidak dapat dibenarkan dan tidak sah secara konstitusional karena tidak sesuai dengan dasar konstitusi.
Pemberlakuan hukuman mati menunjukkan mekanisme pengaturan hidup bersama di negara ini yang bersifat represif dan otoriter.
Pemerintah dan otoritas formal yang berwenang dalam hal ini, tidak lagi berpihak kepada kesejahteraan warga negaranya dengan enggan menghargai warga negaranya sebagai persona.
Hak hidup yang tidak bisa direduksi dengan alasan apapun, mestinya dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana sudah menjadi imperatif konstitusional bangsa.
Hukuman Mati Tidak Sesuai dengan Tujuan Hukum Pidana
Hukum pidana sebagai hukum yang mengatur terhadap pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan bersama, memiliki dua tujuan.
Pertama, untuk memberi rasa takut kepada setiap orang agar tidak melakukan perbuatan pidana. Kedua, untuk mendidik para pelaku tindak pidana agar menjadi orang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat (detikcom, 4/4/2022).
Dari kedua hal ini, bisa dikatakan bahwa hukum pidana mempunyai tujuan yang mulia, yakni demi kesejahteraan hidup manusia.
Namun, hukuman mati sebagai hukum pidana tidak mencapai tujuan yang kedua, yaitu sebagai edukasi bagi pelaku kejahatan untuk menjadi pribadi yang baik.
Hukuman mati sama sekali tidak bisa mewujudkan tujuan mulia dari hukum pidana. Hukuman mati hanyalah sebuah upaya pencegahan terjadinya kejahatan, namun dengan melakukan tindak kejahatan kemanusiaan. Akibatnya kejahatan tidak akan pernah bisa teratasi.
Ketiga keberatan di atas sebagai bentuk penolakan terhadap pelegalan hukuman mati di Indonesia, telah menunjukkan bahwa pelegalan hukum pidana tersebut tidak memiliki basis yang jelas.
Pemberlakuan hukuman mati justru merupakan bentuk hukum yang paradoksal dan mesti dipertimbangkan lagi legalitasnya.
Sebab, sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia seyogianya menghargai dan mematuhi hal-hal esensial yang menjadi ketetapan dan kesepakatan internasional.
Di samping itu, sebagai negara hukum, penyusunan perangkat hukum di negara ini seharusnya tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, serta memiliki tujuan kesejahteraan hidup manusia.
Sebagai solusinya, penulis menawarkan hukuman pidana seumur hidup sebagai pengganti hukuman mati. Hukuman seumur hidup lebih tepat karena selain tidak bertentangan dengan dasar konstitusi dan cita-cita universal HAM, hukum pidana tersebut memiliki kemungkinan untuk dikoreksi apabila terdapat kesalahan keputusan pengadilan.
Dengan demikian, hukuman seumur hidup lebih manusiawi daripada hukuman mati dan tetap menjamin pemenuhan hak untuk hidup, sebagai hak asasi manusia yang paling luhur.
*Penulis adalah Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero.