Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

TPDI-NTT Menilai Kasus Dugaan Korupsi Gratifikasi DPRD Ende dari PDAM Ende Sudah Selesai

Foto Istimewa, Kordinator TPDI NTT, Meridian Dewanta

Ruteng, GardaNTT.Id – Kasus dugaan korupsi gratifikasi DPRD Ende dari PDAM Ende, TPDI-NTT menilai sudah selesai.

Hal itu disampaikan oleh Kordinator TPDI-NTT Meridian Dewanta melalui pesan WhatsApp pada Senin (03/62023).

Desa Haju

Dia menjelaskan berdasarkan laporan Informasi Nomor : LI/06/X/2015/Reskrim tanggal 5 Oktober 2015 dan Surat Perintah Penyelidikan Nomor : Sprinlidik/09/X/2015/Reskrim tanggal 16 Oktober 2015, maka Polres Ende telah melakukan penyelidikan atas kasus dugaan tindak pidana korupsi Gratifikasi DPRD Ende dari PDAM Ende.

“Kasus dugaan korupsi Gratifikasi DPRD Ende dari PDAM Ende itu berawal dari inisiatif DPRD Ende dalam pembuatan Rancangan Perda Penyertaan Modal PDAM pada tahun 2015, lalu ada 7 oknum anggota DPRD Ende periode 2014-2019 yang diduga menerima suap atau gratifikasi dari Direktur PDAM Ende Soedarsono.Nama-nama oknum anggota DPRD Ende periode 2014 – 2019 itu adalah Herman Yosef Wadhi (ketua DPRD), Fransiskus Taso (Wakil Ketua DPRD), Oktavianus Moa Mesi, Jhon Pella, Orba K. Ima, Sabri Indra Dewa, dan Abdul Kadir Hasan” Tulis Meridian Dewanta.

Lebih lanjut Meridian Dewanta mengatakan dari berbagai sumber pemberitaan yang beredar bahwa pada proses penyelidikan oleh Polres Ende sejak tahun 2015, Direktur PDAM Soedarsono telah mengakui pemberian SPPD kepada 7 oknum anggota DPRD Ende demi kepentingan konsultasi Perda Inisiatif Penyertaan Modal kepada PDAM Ende.

“Dalam kasus tersebut, Polres Ende juga telah mengantongi bukti-bukti berupa Surat Perintah Tugas dari DPRD Ende, voucher biaya perjalanan dinas anggota DPRD Ende dalam rangka konsultasi tentang rencana penyertaan modal kepada PDAM Ende, kwitansi penerimaan uang oleh anggota DPRD Ende, kwitansi pengembalian uang oleh anggota DPRD Ende, pengakuan dari Dirut PDAM Ende Soedarsono dan lain sebagainya” Tambah Meridian Dewanta.

Namun demikian lanjut dia, Polres Ende kemudian menghentikan penyelidikan kasus dugaan korupsi Gratifikasi DPRD Ende dari PDAM Ende itu, sehingga muncul perlawanan dari elemen masyarakat setempat yaitu GERTAK, yang pada tahun 2018 mengajukan Praperadilan melalui Pengadilan Negeri Ende terhadap Polres Ende atas dihentikannya penyelidikan kasus dimaksud.

“Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Ende Nomor : 02/Pid.Pra/2018/PN.Ende tanggal 26 Maret 2018, Polres Ende dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dengan bunyi putusan sebagai berikut :Pertama, menyatakan tindakan penghentian penyelidikan oleh termohon (Polres Ende) terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi merupakan pembiaran terhadap suatu tindak pidana” Ujarnya.

Oleh karena itu penghentian penyelidikan tersebut adalah tidak beralasan menurut hukum; Kedua, memerintahkan kepada termohon (Polres Ende) untuk melanjutkan proses hukum terhadap perkara dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana yang dicatat dalam laporan informasi nomor : LI/06/X/2015/Reskrim tanggal 5 Oktober 2015 dan Surat Perintah Penyelidikan Nomor : Sprinlidik/09/X/2015/Reskrim tanggal 16 Oktober 2015 tersebut; Setelah Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Ende Nomor : 02/Pid.Pra/2018/PN.Ende tanggal 26 Maret 2018, masyarakat mendesak agar Polres Ende segera menuntaskan kasus dugaan korupsi Gratifikasi DPRD Ende dari PDAM Ende, namun di bulan Februari 2019, Kapolres Ende saat itu AKBP Achmad Muzayin menyatakan menghentikan penyelidikan kasus tersebut dengan alasan tidak cukup bukti” Jelas Meridian Dewanta.

Sebagai pihak yang mengikuti segala polemik tentang kasus dugaan korupsi Gratifikasi DPRD Ende dari PDAM Ende, TPDI-NTT menyimpulkan bahwa sejak kasus itu ditangani pada tahun 2015 sampai dihentikan penanganannya oleh Polres Ende (baik sebelum maupun sesudah adanya Putusan Praperadilan), maka status kasusnya masih di tahapan penyelidikan, atau belum pernah ditingkatkan ke tahap penyidikan.

“Penyelidikan menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” Terang Meridian Dewanta.

Sedangkan penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

“Kalau kita memahami arti penyelidikan menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP, Maka Penghentian penyelidikan oleh Polres Ende atas kasus dugaan korupsi Gratifikasi DPRD Ende dari PDAM Ende, harus dimaknai bahwa Polres Ende tidak menemukan adanya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana sehingga kasus dimaksud tidak dapat ditingkatkan ke tahapan penyidikan” Ungkap Meridian Dewanta.

“Sebagai sebuah terobosan hukum, kita patut menghormati upaya elemen masyarakat setempat (GERTAK) yang pada tahun 2018 mengajukan Praperadilan melalui Pengadilan Negeri Ende terhadap Polres Ende atas penghentian penyelidikan kasus itu” Kata Meridian Dewanta.

Meridian Dewanta menegaskan harus dihormati pula Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Ende Nomor : 02/Pid.Pra/2018/PN.Ende tanggal 26 Maret 2018, dimana Polres Ende dinyatakan sebagai pihak yang kalah.Namun apakah penghentian penyelidikan merupakan obyek yang bisa diuji melalui praperadilan, maka kita harus melihat ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP yang menyatakan:

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan” Tegas Meridian Dewanta.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 53/PUU-XIX/2021 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan, Pasal 77 huruf a KUHAP pernah beberapa kali dimohonkan pengujian ke MK, yaitu dalam Perkara Nomor 102/PUU-XI/2013, Perkara Nomor 67/PUU-XII/2014, Perkara Nomor 35/PUUXIII/2015, Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015, Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 9/PUU-VII/2019.

Dalam pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2019, MK telah menegaskan bahwa penghentian penyelidikan tidaklah dapat dimasukkan sebagai salah satu objek pengujian dalam praperadilan, dikarenakan tindakan penyelidikan belum masuk pro-justitia sehingga didalamnya tidak terdapat adanya upaya paksa yang menyebabkan terjadinya perampasan hak-hak asasi manusia.

Walaupun Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Ende Nomor : 02/Pid.Pra/2018/PN.Ende tanggal 26 Maret 2018 menyatakan penghentian penyelidikan kasus dugaan korupsi Gratifikasi DPRD Ende dari PDAM Ende itu tidak beralasan menurut hukum sehingga proses hukum harus dilanjutkan oleh Polres Ende, namun publik juga harus menghormati sikap Polres Ende yang pada bulan Februari 2019 kembali menghentikan penyelidikan kasus tersebut.

“Dengan demikian kami menilai bahwa sudah sangat tepat bila Kapolres Ende AKBP Andre Librian, SIK pada bulan April 2023 menegaskan bahwa proses hukum kasus dugaan korupsi Gratifikasi DPRD Ende dari PDAM Ende telah dinyatakan selesai, namun apabila ada LSM maupun Ormas menemukan bukti baru maka dipersilahkan menempuh prosedur untuk kembali membuka kasusnya” Tambahnya.

Oleh karena itu sepanjang tidak bisa ditemukan adanya suatu peristiwa pidana dalam kasus dugaan korupsi Gratifikasi DPRD Ende dari PDAM Ende, dan tidak ada pula pihak-pihak lainnya yang mengajukan bukti-bukti baru lainnya, maka Penghentian penyelidikan oleh Polres Ende harus jadi penanda bahwa sudah selesailah proses hukum atas kasus tersebut.

“Akhirnya kita harus menyadari bahwa betapa sejak tahun 2015, para pihak yang menjadi target dalam kasus tersebut sudah tercabik-cabik hancur lebur reputasinya akibat divonis melalui peradilan sosial oleh berbagai media massa, padahal faktanya Polres Ende tidak menemukan adanya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dalam kasus itu” Tutup Meridian Dewanta.