Oleh: Waldus Budiman
Hujan tak turun lagi. Angin semakin kencang seperti kemarin. Di halaman rumah yang berukuran 9×25 m, daun kering berserakan. Di samping pintu gerbang ada pot bunga yang tanahnya sudah mulai keras dan bunganya sudah mati. Beberapa pohon mawar juga sudah tinggal ‘tulang’ saja.
Maklum, musim kemarau tahun ini benar-benar ganas. Tapi ini akan berakhir dalam waktu dekat. Sebab, di langit sana awan mulai menumpuk membentuk bulatan tidak teratur. Kerinduan warga akan turunnya sebentar lagi tercapai. Dua minggu yang lalu, tetua adat berserta beberapa orang pilihan di kampung ini melakukan upacara di bawa kaki gunung. Upacara itu bertujuan untuk memohon kepada Tuhan lewat perantara nenek moyang untuk menurunkan hujan. Inilah kepercayaan masyarakat setempat.
Di bibir pantai, seorang gadis sedang mengatupkan doa dan merenung harapan. “Tuhan, masih melindungi ku.” desahnya.
Rani gadis 18 tahun. Ranialista Arendth, begitulah nama lengkapnya. Dia dikenal alim, pintar dan suka menyendiri. Demikian kesan Vani teman kelas Rani sekaligus tetangga rumah.
Rani jarang keluar rumah sepulang sekolah. Belajar kelompok bersama teman-temannya selalu absen. Seringkali, Verlado, wali kelas Rani memberikan hukuman kepadanya. Nilai rapor Rani jarang ada angka tujuh. Bukan mustahil, juara satu umum selalu diraihnya, bahkan pernah menjuarai lomba sains di tingkat Provinsi.
Verlado, wali kelas Rani kadangkala memberikan hukuman ringan atas Rani. Dirinya sadar atas kemampuan anak muridnya itu. Sebagai wali kelas, Verlado tetap berlaku adil, apapun itu.
Ayah Rani sudah meninggal sejak Rani kelas dua SMP. Satu tahun kemudian, ibunya menikah lagi dengan seorang pria yang menjadi ayah tirinya sekarang ini. Dari hasil pernikahan itu, Rani dikarunia dua orang adik laki-laki. Saat ini mereka berlima di rumah. Sebagai seorang kakak, Rani bertanggung jawab penuh atas dua orang adiknya.
Ibunya bekerja di salah satu kantor swasta. Sementara itu ayah tiri Rani seorang pemabuk kelas kakap dan pengangguran abadi sejak menikah dengan ibunya. Sepulang sekolah Rani menjaga adiknya yang pagi harinya titip di tetangga. Selain itu, Rani membereskan pekerjaan rumah, dan sekolahnya. Betapa sibuknya Rani hingga tidak memiliki waktu bermain bersama teman-teman sebayanya.
Rumah Rani berlantai dua. Kalau sore hari, Rani bisa menikmati senja dari rumah. Mendengar suara ombak. Mengamati aktivitas nelayan di kampungnya. Sekitar 6 kilo jarak rumahnya dengan pantai.
Musim kemarau berlalu, musim hujan pun tiba. Suasana kampung sangat sepi di malam hari. Suara ombak semakin keras. Di bibir pantai, hanya ada satu dua nelayan yang masih sibuk menjahit jalanya. Awam di atas sana semakin tebal. Suara petir menggelegar membuyarkan lamunan Rani.
“Ran, jangan lupa mati lampu dan tutup jendela kamar kalau mau tidur, ya.” kata ibunya dari ruang tamu.
“Gerbang jangan dulu ditutup, ayahmu masih diluar,” lanjut ibunya.
Dia menutup jendela kamarnya, dan mematikan lampu. Hujan di luar semakin deras. Ayahnya belum juga pulang. Suara petir dan hujan jadi satu. Dalam hitungan menit, Rani terlelap dalam tidurnya.
Ia terbangun saat benda dingin mendarat di pipinya. Dalam suasana gelap Rani tidak bisa memastikan benda macam apa. Tetapi yang pasti itu tanggan laki-laki. Bau alkohol menusuk penciuman Rani.
“Ayah?”
“Diam!”
Rani berontak. Tubuhnya bergerak ke sana kemari. Ingin berteriak tetapi telapak tangan kekar ayahnya menutup mulutnya. Kakinya berusaha menendang tubuh ayahnya. Apalah daya, tubuh kekar itu berhasil menindih tubuh mungilnya yang masih dalam proses pertumbuhan itu.
Rani baru kelas dua SMA. Tapi fisiknya beda dari teman-temannya. Mungkin karena ayahnya seorang bule. Dia tidak mirip dengan kedua saudara tirinya itu.
Ibunya bekerja di sebuah restoran milik orang Australia yang menjadi ayahnya. Dari sana perkenalan itu berawal hingga ibunya dilamar oleh bos yang beberapa tahun lalu menjadi suaminya. Dari pernikahan itu, munculah Rani.
Rani berusaha dengan sekuat tenaga untuk melepaskan diri. Satu, dua, hingga lima kali, tetapi gagal terus. Rani pasrah. Badanya lemas. Hujan semakin deras. Perlahan-lahan baju tidurnya dilepas, di susul pakaian dalamnya.
Sejak kepergian ayahnya, Rani jarang keluar rumah. Dia memilih untuk mendiam diri di kamar dan menjaga adik-adiknya. Restoran warisan ayahnya sudah dikelola oleh adik ayahnya dari Australia.
Rani menjerit, setelah celana dalamnya dilepaskan. Dia sadar. Dengan sekuat tenaga, dia mendorong tubuh pemabuk itu hingga jatuh tersungkur di lantai. Rani berteriak dan berlari ke kamar ibunya.
Malam semakin hening.