Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Agama: Antara Keluasan Hati dan Dogmatisme Psikologis

P. Kons Beo, SVD (Foto: dok. pribadi)

Oleh: P. Kons Beo, SVD

“Manusia berprinsip bisa dipastian tegas, tetapi orang yang tegas tidak selalu berprinsip”
(Konfusius, Filsuf China, 551 – 479 SM)

Desa Haju

Mudahnya Tetapkan Masalah

Rok ketat. Celana jins. Perempuan. Di pertalian antara ketiganya hanya ada satu kata: Masalah! Setidaknya itulah isi pikiran yang ada di kepala penguasa Kerajaan Swaziland di Afrika.

Tak hanya itu. Bahkan perjuangan demi hak-hak manusia pun dikecam keras. Katanya, perjuangan seperti itu dianggap sebagai “penghinaan pada Tuhan.” Logikanya? Hanya pada tafsiran ‘seenaknya’ dari Kitab Suci.

Katanya, Alkitab sudah jelas-jelas menyatakan tentang larangan itu. Tesis pembenaran para penguasa adalah “Tuhan menciptakan manusia tidak sama, karena itu manusia tidak boleh mengubah-ubah apa yang telah diciptakan Tuhan” (Shiraev & Levy, 2012)

Atas nama Tuhan dan suara penguasa adalah fundamen paling kokoh untuk satu tesis yang harus diberlakukan. Di situ Tuhan ‘dilindungi’ dari kesakralanNya.

Penguasa merasa berjasa untuk satu tugas suci. Satu pembenaran agar sungguh terlihat ‘ad maiorem Dei gloriam.’ Iya, demi ‘kemuliaan Allah yang lebih besar.’ Terdengar indah! Namun sungguh mengandung umpan kepada maut.

Mutualisme Agama dan Kuasa

Tetapi, tidak kah sebenarnya, penguasa lagi ‘memakai Tuhan’ sebagai tameng satu arah? Demi lindungi kekuasaannya sendiri yang mesti untouchble? Dan di balik kekuasaan nan zalim itu sebenarnya ada banyak cabang dan ranting kepentingan? Mencatut ‘Nama Tuhan’ adalah permainan cantik demi ‘tindak ekonomi kekuasaan’ nan piawai. Artinya?

Memakai Nama Tuhan sungguh sangat murah. Tetapi itu diyakini bernilai dahsyat dan massif. Demi membawa keuntungan sebesar-besarnya. “Tuhan yang terzalimi adalah titik api kecil yang segera cepat riuh membara.”

Paradigma tentang Tuhan sungguh terkoneksi dengan seluruh jiwa raga serta mati hidup ‘manusia beriman.’

Ada yang sulit dipahami. Namun, itulah yang terjadi! Manusia cepat terbakar jika merasa bahwa Tuhan-nya tersentuh, dan apalagi diobok-obok.

Tuhan Mahakaya dalam Keberagaman

Tetapi, tidak kah Tuhan yang ‘mahajauh serta mahadekat’ itu dapat ‘diraih’ dengan rupa-rupa upaya manusia? Tuhan itu ‘mahakaya dan mahasegalanya’ untuk dijangkau ‘sebisanya manusia.’ Maka biarkanlah akal budi meraih Tuhan sedapat-dapatnya.

Biarkanlah segala rasa dan kerinduan itu bergelora untuk mengakrabpi Tuhan. Biarkanlah pula segala madah dan puisi, seni musik, tarian, pahatan indah, membawa keseluruhan diri manusia menuju singgasana ilahi.

Pasrahkan penuh girang bahwa ‘angin, gunung dan ngarai bagai orkes symphoni’ demi kemegahan Tuhan. Tak ada yang salah.

Hidup manusia sepantasnya jadi seruan penuh agung membahana: “Marilah segala makhluk pujilah Khalikmu. Langit wartakan muliaNya. Cakrawala karyaNya.”

Rasa cinta dan kasih sayang pada Tuhan ‘Penguasa Semesta, Langit dan Bumi’ mesti dilantunkan dalam berbagai lintasan.

Tuhan terlalu agung dan akbar untuk dikemas dan diremas hanya dalam satu design untuk ‘menggapaiNya.’ Andaikan sebaliknya? Pusaran indoktrinasi dipaksa jadi jalan tunggal.

Dogmatisme Penuh Kabur

Di pusaran seperti inilah, perlahan tapi pasti, piramide dogmatis terbangun! Tersusun rapih di atas titah-titah yang kejam. Memborgol kebebasan.

Menindas manusia dan kemanusiaan. Dari Milton Rokeach dapat ditangkap bahwa dogmatisme merujuk sungguh pada satu ide sentral. Dan “ide ini punya otoritas atas individu dan menyebabkan intoleransi terhadap orang lain atau terhadap suatu isu.”

Di balik dogmatisme termaktub lukisan, “kecenderungan yang sangat selektif, kaku dan tidak fleksibel dan menganut pendapat dan perilaku.” Kelompok dogmatik, di dalam kesempitan cakupan pemahaman, akan selalu kesulitan dalam keberagaman.

Selalu ada rasa ketidaknyamanan dalam perjumpaan dengan siapapun yang tak sepaham dan tak seperilaku.

Dalam arus dunia yang semakin melaju, ketika perjumpaan antar manusia dalam varian dimensinya telah jadi satu keniscayaan, group dogmatis mesti mempertebal identitasnya.

Demokrasi, globalisasi, iluminasi, edukasi atau pun formasi mesti ditekel keras dengan indoktrinasi sektarian.

Tak ditampik bahwa dogmatisme sebenarnya sungguh kasat terbaca dalam doktrin politik. Ia pun mudah terdengus dalam falsafah hidup kelompok atau partai.

Perilaku dogmatik akan sangat selektif dalam mengayak ayat-ayat pedoman hidup pada umumnya hanya demi membenarkan visi, orientasi serta segala strategi perjuangannya!

Kaku dan Tertutup

Dalam dogmatisme psikologis, segalanya telah tertutup dan terpaku mati. Tak ada sedikit pun cela untuk berpendapat dan bersuara lain.

Segala yang ‘lain justru dianggap kelainan yang mesti ditumpas sejadinya.’ Tak ada ruang untuk diskusi. Yang disebut penafsiran tak ubah bagai ide-ide liar yang ‘tak tertib.’ Dan dogma sudah tertibkan semua jalur dan isi berpikir yang berkerayapaan itu.

Dogmatisme psikologis punya tempat kokoh dalam struktur kekuasaan yang tiran dan dalam idola ketokohan. Ada kepasrahan yang dipaksakan saat ‘kekuasaan sudah pastikan.’

Pun ketika ‘tokoh-tokoh pujaan’ telah jadi referensi tertutup. Yang mengandung kepastian dan kebenaran mutlak.

Ketokohan di Pusaran Penyesatan?
Apa yang mesti diperdebatkan jika memang ketokohan sudah bersuara? Dogmatisme psikologis ‘mengambil untung’ dalam teror psikologis dari kepasrahan yang teramat pasif dari para pendengar.

Bila dikaji lebih teduh, terlihat bahwa ketokohan itu, sejatinya, tak berpendapat. Ia tak sedang berpikir dalam cakupan wawasan yang luas. Ia tak berdinamika dalam arung berpikir integral – holistik. Ketokohan mengharamkan semua jalan alternatif.

Ketokohan pun tak aktif dalam daya refleksi. Ia tak peduli akan kreativitas dalam berpendapat, pun dalam bertindak. Ketokohan hanyalah jadi ‘tukang sortir’ untuk memilih sebatas tradisi dan ayat. Yang terfokus hanya pada teks-teks. Tak peduli atau buta (sengaja buta) pada konteks historik-kultural.

Dogmatisme vs Kebebasan

Dogmatisme yang membeku dalam kekuasaan yang represif, terbungkus dalam hegemoni pengetahuan dan fanatisme sempit akan dengan mudah mengakali dan mempengaruhi para pendengar yang lemah dalam ‘akal budi dan hati.’

Dan salah satu pengaruh negatif yang teralami dari semuanya, misalnya, adalah polarisasi masyarakat dengan batasan-batasan tembok-tembok tinggi dan tebal.

Kelompok-kelompok masyarakat ‘hanya terhubung’ dengan jembatan kebencian dan kecurigaan. Dan nantinya akan berujung pada tindakan-tindakan penuh tekanan, destruktif dengan variasi kekerasan yang kental.

Amat mudah terbaca bahwa aksi bom diri, misalnya, terlahir dari perjumpaan antara dogmatisme yang menyesatkan dan ‘psike yang amat lemah dan rapuh.’

Ketaatan buta serta halusinasi akan hidup bahagia selamanya di surga abadi temukan pembenarannya dalam dogmatisme psikologis.

Adakah Setitik Harapan?

Bila merujuk pada pemahaman Milton Rokeach, maka terminologia dogmatisme psikologis itu, sesungguhnya, tak hanya berkiblat pada dinamika mengakali, untuk tidak mengatakan sebagai alur menyesatkan.

Tak hanya itu. Tetapi juga, dalam kasus bom diri, misalnya, adalah satu tindakan keji mengorbankan orang lain.

Tampaknya, akan tetap terjadi saling silang antara animasi positif demi hidup beragama yang sehat dan indoktrinasi sesat keberagamaan yang berujung situasi teoristik dan maut.

Maka, di titik ini, ada kah secuil harapan untuk hidup dalam keberagaman dalam keberagamaan?

“Menghayati agama dengan benar, mengikuti kelompok religius yang saling mendukung, kematangan psikologis” (Saputra & Y.A Gole) dapat ditangkap sebagai pilar-pilar tangguh untuk tak terperangkap dalam arus dogmatisme psikologis.

Ajaran agama mesti ditangkap dengan daya nalar yang mumpuni. Akal yang waras pasti juga dituntut untuk mencermati kelompok-kelompok religius.

Entahkah itu membawa kepada kebaikan bersama? Atau mempersiapkan jalan-jalan maut?

Di atas segalanya, dogmatisme psikologis yang sungguh mengancam itu mestilah ditangkal. Sebab itulah, kekuatan batin dan isi jiwa sepatutnya jadi formasi individu. Bahkan mesti jadi jadi gerak revolusi mental kolektif bangsa.

Akhirnya, masih berseliweran kah penyesatan berkonten dogmatisme psikologis? Di zaman Yesus dari Nazareth, kiranya itulah yang jadi salah satu perlawanannya.

FirmanNya pada para muridNya, “Impossibile est ut non veniant scandala: vae autem illi, per quem veniunt” – tidak mungkin tidak ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya (Luk 17:1).

Dalam pelayaran perahu keberagamaan, apakah muatan iman yang diseberangkan si dalam samudra luas? Sebab, kenyataannya, perahu agama itu sering terlalu dijejali dengan konsep-konsep ideologi.

Bukan iman! Itulah yang dapat ditangkap dari Ronald Rolheiser (1998). Sepantasnya hati mesti dibebaskan dari ideologi beraroma maut. Untuk segera diganti dengan iman yang teduh.

Begitulah!

Verbo Dei Amorem Spiranti