Hardiknas 2022 dan Literasi Kita

Dengan merdeka belajar, generasi diharapkan memiliki kecapakan literasi, literasi segala bidang. Literasi yang komplit membuat perspektif semakin holistik. Kata Nadiem Makarim, tingkat literasi kita masih rendah (Media Indonesia, 03/12/2019). Kalau Mendikbudristek sudah bilang begitu, berarti berarti betul. Takaran itu sebelum pandemi. Coba bayangkan setelah pandemi covid-19, bisa jadi tingkat literasi dunia pendidikan kita turun menukik.

Bukan salah siapa-siapa, tetapi kita semua. Mengutip penyair John Donne, “…therefore never send to know for whom the bells tolls; it tolls for thee”. “Bunyi bel” krisis literasi itu untuk kita bangun dan bergerak. Program Sekolah Pengegerak dimaksudkan untuk itu. Bahwa guru, pemerintah dan masyarakat beregerak bersama untuk mendukung literasi holistik pada anak didik.

Dasar literasi itu adalah baca-tulis. Pemahaman yang holistik selalu berasal dari laku baca-tulis. Nah, bagaimana mungkin pembicara yang tidak pernah menulis secara pubik (:berarti jarang membaca buku/jurnal/majalah/dll) bisa berkoar-koar soal literasi di ruang publik? Mungkin anak didik juga perlu ragu pada guru yang berbusa-busa omong literasi, sementara tulisan publiknya belum ditemukan. Juga, kalau ada kota/kabupaten literasi, apa yang dibuat oleh Kantor Bahasa selain “touring” ke daerah tanpa inisiasi karya literasi. Ada komunitas-komunitas literasi, tetapi belum mapan, sehingga terjebak “proyek” literasi. Masih banyak keunikan laku kita yang membuat bunyi bel krisis literasi itu semakin melengking. Literasi dasar itu saja sudah bikin dunia Pendidikan kelimpungan, belum literasi yang lain (budaya, finansial, hukum, dll). Soal literasi, kita masih belum “the right man on the right place”.

Baiklah, anggap saja semua itu bagian dari pandemi. Masih ada harapan, sebab kita mulai berbenah lagi. Ajakan “pimpin pemulihan” pada tema Hardiknas sangatlah pas. Dunia pendidikan perlu berbenah diri dengan mutu dan kualitas. Non multa sed multum. Banyak program, banyak dana, tetapi kalau insan pendidikan tidak bergerak, mutu dan kualitas pun statis. Dua puluh persen (20%) anggaran APBN harus betul-betul ditumpahkan demi perbaikan mutu dan pemulihan pendidikan nasional. Ada pemeo, “bad pricing kills good planning” (mengutip Hasan Ihkrata, majalah Time, 21 Maret 2022). Itu jangan sampai terbalik, “good pricing kills good planning”: dana besar jadi kue bancakan di kementerian hingga daerah, bukan fokus pada kebijakan dan program mutu pendidikan.

Yang jelas, publik sangat mendukung dunia pendidikan dengan caranya sendiri. Perhatian publik pada dunia pendidikan merupakan bagian dari perhatian pada dirinya sendiri. Sebab, pada dunia itu ada anaknya, ada orang tua, ada pemerintah. Semuanya ada dalam garis perjuangan yang sama: menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat; manusianya berbudi dan berakhlak. Titik!