Fenomena Disrupsi
Meskipun inovasi bidang teknologi ampuh dan manjur menjawabi tantangan zaman, sisi lain perkembangan teknologi mutakhir mendatangkan badai tersendiri. Sepandainya tupai melompat, pasti ‘kan jatuh juga. Pribahasa tersebut tepat diangkat untuk membicarakan fenomena naif yang menggurita pada masyarakat global zaman ini. Bahwasanya dunia sedang mengencangkan sayap-sayap perubahan. Inovasi baru yang diyakini secara singkap menjawabi tantangan zaman, namun toh manusia (agen perubahan itu sendiri) masih berkecimpung dalam spektrum ‘ketidaktahuan’.
Tentu, fenomena tersebut mengafirmasi keraguan Hubert Daud, (Mahasiswa Pasca Sarjana Filsafat STFK Ledalero) bahwa bahaya tercipta dari penggunaan internet sebagai fitur teknologi adalah ‘ketidaktahuan’. Artinya, inovasi-inovasi yang dikembangkan manusia dalam rana digital mestinya diimbangi dengan SDM yang mencukupi.
Konteks ‘ketidaktahuan’ tersebut saya diparalelkan dengan situasi disrupsi. Secara leksikal disrupsi berarti hal tercabut dari akarnya. Secara bahasa disrution diartikan dengan gangguan, kecelakaan; suatu masalah yang mengganggu suatu pristiwa atau aktivitas tertentu (Nega dalam Seri Vox: 2020:16).
Term ‘ketidaktahuan’ masyarakat dapat menjadi bibit disrupsi. Mengapa? Prihal berkembang dalam term ‘perkembangan’ selalau mengacu pada taraf baru; proses peralihan dari yang lama kepada yang baru. Tentunya merupakan suatu hal postif. Perkembangan teknologi hingga pada tingkat mutakhir mestinya tidak terlepas dari daya inovasi manusia berintelek cukup. Nah, apa jadinya perkembangan teknologi (dibaca: alat-alat teknologi seperti internet) diciptakan ternyata membawahi SDM manusia itu sendiri alias ‘ketidaktahuan’ merupakan suatu paradok apabila dikaji seacara mendalam.
Esensi SDM Terhadap Tuntutan Revoluis Industri 5.0
Berbagai perkembangan dunia dengan inovasi baru turut menghantar manusia masuk pada sistem perubahan. Masyarakat seakan sedang mengadakan ‘imigrasi’ besar-besaran dari satu babak ke babak perubahan baru. Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia gencar memperbincangkan satu model perubahan dunia pada level tinggi, yakni revolusi 5.0. Republika.co.id per Rabu, (22/08/2019) memberitakan sebuah naskah bertemakan “Siapkah Indoneisia Menuju Industri 5.0?”
Tema tersebut menyiratkan persiapan masyarakat Indonesia menghadapi industri 5.0. Sentak muncul keraguan dalam diri saya – bahwasanya cukup aneh. Indonesia sedang sibuk menyesuaikan diri dengan rekonstruksi revolusi 4.0 dalam segala bidang demi tercapainya generasi melek teknologi, namun rakyatnya masih sempat membicarakan tahap baru yang masih dianggap ‘belia’ pembahasanya. Paradoks tentunya. Apakah kedua model perubahan ini akan dilaksanakan secara bersamaan dalam kurun waktu yang sama pula? Tentu tidak, sekalipun manusia Indonesia diibarat sebuah robot.
Hasil penelitian mini saya mengenai pengetahuan masyarakat tentang revolusi industri 5.0 menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang revolusi 5.0 mencapai 43,5%, kurang paham 4,3%, tidak paham 26,1%, sama sekali tidak tahu dan tidak pahgam 13%, dan belum pernah dengar 13%. Artinya bahwa
Nilai interval data antarindikator memilki jarak yang cukup jauh. Persentase responden yang menjawab ‘paham’ terhadap responden lainnya menjadi ukuran bahwa SDM masyarakat masih belum cukup mampu memperdayai perkembangan teknologi (dalam hal ini revolusi 5.0) mendatang. Jika jawaban responden kategorial tidak tahu (tidak paham’, sama sekali tidak tahu dan tidak paham’, belum pernah dengar) dijumlahkan, niliainya akan melampauhi responden yang paham (dan kurang paham). Artinya masyarakat berada dalam spektrum ‘ketidaktahuan’.
Sasaran penelitian tersebut pada responden yang mengenyam pendidikan tinggi. Bagaimana dengan mereka yang berada atau bahkan tidak berpendidikan sama sekali dan atau yang ‘gaptek’? Dengan demikian, diskursus revolusi 5.0 merupakan sebuah jalan tol menuju bibir jurang. Perkembangan teknologi mestinya diimbangi oleh daya kritis masyarakat, yakni SDM yang mencukupi. Andai daya kritis tidak bermain untuk mengimbangi perkembangan zaman, teknologi akan merenggut, bahkan menjadi tuan atas kehidupan kita.