Pada saat kecelakaan terjadi, truk naas itu mengangkut 34 orang yang diduga merupakan pekerja tambang ilagal di Distrik Minyambouw. Selain itu, truk itu juga membawa muatan berupa balok kayu, papan kayu, berbagai ukuran batang besi, dan satu sepeda motor. Muatan truk itu disimpulkan terlalu berlebih untuk diangkut dengan kondisi jalan yang berbukit.
Wildan menjelaskan ketika sebuah kendaraan ada di atas dan mau menuruni turunan terjal, gaya yang menggerakkan truk itu bukan mesin, tetapi gaya gravitasi bumi.
“Rumusnya adalah [rumus] energi potensial, [dipengaruhi oleh] massa, gaya gravitasi bumi, [dan] ketinggian,” ucapnya
Dia menyebut, semakin tinggi tempat, semakin berat massa, maka semakin besar daya dorongnya .
“Energi kinetik itu berbanding lurus dengan massanya, berbanding lurus dengan kecepatannya” ungkap Wildan.
Wildan menyatakan teknik mengemudi di turunan yang curam adalah pengemudi memakai gigi rendah untuk menggunakan daya mesin untuk membantu pengereman dan menjaga laju kendaraan tetap pelan.
“Makanya jangan berlebih. Pengemudi itu harus tahu kalau dia [dari] atas mau turun ke bawah, dia jangan muat berlebihan, dan [harus mengemudi] menggunakan gigi rendah” tuturnya.
Rekonstruksi menyimpulkan bahwa pengemudi sempat melakukan pengereman kendaraan, ditandai dengan salah satu roda truk yang memiliki jejak terbakar karena gesekan hebat. Diduga, daya dorong truk itu melampaui kapasitas pengeremannya, sehingga akhirnya rem truk itu gagal berfungsi atau blong.
Wildan menjelaskan jika kendaraan yang menuruni turunan terjal melaju terlalu kencang, energi potensial dan energi kinetik akan menciptakan energi panas. Jika energi yang tercipta itu melebihi kemampuan pengereman kenderaan, rem bisa gagal berfungsi atau rem blong.
“Energi panas ini adanya di roda. Itu yang menyebabkan rem blong tadi. Jadi [hal itu] perlu diwaspadai para pengemudi di sini” imbaunya.