LSM SurfAid Bantu Tekan Angka Stunting Melalui Program Nusatani

Sumba Barat, GardaNTT.id – Penurunan angka jumlah sunting, menjadi perhatian banyak pihak. Salah satunya adalah LSM SurfAid.

Melalui program Nusatani, LSM ini melakukan intervensi gizi dengan pendekatan Pertanian yang Sensitif Gizi sejak tahun 2019.

Foto: kelas pengolahan Bekicot

NSA spesialis, Dita K. Ratri, mengatakan, stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kurang gizi dalam jangka waktu lama, paparan infeksi berulang, dan kurang stimulasi. Perbedaan antara balita normal dan stunting terlihat dari sisi tinggi badan.

“Balita stunting terlihat lebih pendek dari balita seusianya. Namun, perbedaan yang tidak terlihat antara keduanya adalah otak anak stunting tidak terbentuk dengan baik dan dapat berdampak panjang,” kata Dita.

Menurutnya, isu ini menjadi salah satu fokus program dari pemerintah pusat hingga level desa. Indonesia menargetkan angka stunting turun hingga 14% pada tahun 2024.

“Sebagai upaya kami untuk berkontribusi dalam penurunan angka stunting di Kabupaten Sumba Barat, melalui program NuSAtani. Kita melakukan intervensi gizi dengan pendekatan Pertanian yang Sensitif Gizi, dan ini dimulai sejak tahun 2019,” terangnya.

Foto: makanan dengan lauk Bekicot diberikan kepad para anak

Kegiatan utama yang dilakukan SurfAid, sambung Dita, adalah pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas kelompok tani, Bumdes, Tenaga Kesehatan, stakeholder lokal serta kader Posyandu dan memunculkan ekosistem yang mendukung adanya perubahan perilaku melalui advokasi dan dukungan dalam bentuk hibah mikro kepada petani.

Dalam implementasi kegiatannya, SurfAid menekankan pada memampukan masyarakat untuk mandiri dengan mengoptimalkan sumber daya lokal untuk mengatasi masalah di masyarakat.

Ia mencontohkan, angka stunting di Kecamtan Laboya Barat, cukup tinggi. Hal ini dipicu salah satunya karena ketersediaan sumber protein yang minim untuk asupan makanan balita setiap hari.

“Diperparah juga dengan adanya masa-masa paceklik seperti pada bulan November-Mei. Oleh karena itu, program NuSAtani kita melakukan kegiatan kelas memasak untuk memperkenalkan sumber protein alternatif yakni bekicot pada orang tua balita,”.

“Masyarakat di Laboya Barat tidak terbiasa mengkonsumsi bekicot. Padahal molusca satu ini mempunyai kandungan protein tinggi dan asam amino yang cukup lengkap. Dan banyak tersedia gratis, apalagi di musim hujan seperti ini,” tambahnya.

Sementara itu, Gitaria Rambu Gena selaku Community Development Officer (CDO) SurfAid menceritakan, di Patiala Dete kelas ini telah berjalan.

“Posyandu Pegarewa para mama-mama mencoba untuk belajar mengolah bekicot. Meski awalnya merasa geli karena lendirnya, mereka tetap berusaha untuk turut membantu membersihkan dan mengolah bekicot untuk makan siang bersama anak mereka,” kisahnya.

Setelah hasilnya dirasakan, para orang tua gembira karena justru makanan lauk Bekicot justru diminati anak-anak mereka.

“Ternyata setelah dimasak dan matang, olahan bekicot sangat disukai anak-anak. Mereka makan sangat lahap. Beberapa anak terlihat tambah berkali-kali. Di dusun sebelah, Katama Wee, kegiatan Kelas Memasak juga dilakukan usai mama dan bapa balita menyelesaikan Kelas Pengasuhan. Uniknya, bapa yang menjaga anak, mama menyiapkan masakan dari bekicot,” ucapnya.

“Setelah matang, bapa yang menyuapi anak makan. Anak-anak di Katama Wee juga doyan sekali olahan bekicot. Enak kata mereka. Mereka sampai tambah-tambah. Wah semoga praktek baik ini bisa dipraktekkan di rumah ya. Dan bisa mendorong kenaikan BB dan TB balita sehingga status gizi mereka juga berangsur membaik,” pungkasnya.

Penulis: Kristo NangaEditor: Redaksi