Ia menambahkan, secara sosio-patologis, semakin banyak masyarakat yang terlibat dan terdampak oleh perbuatan menyimpang, maka akan menjadi semacam penyakit sosial yang menimbulkan penyakit sosial lainnya. Hal ini akan menciptakan lingkaran setan kemiskinan dan kejahatan (the vicious circle of poverty and crime).
“Sadar atau tidak, penyakit sosial ini akan membahayakan sendi-sendi kehidupan bernegara bangsa. Lingkaran kemiskinan dan kejahatan ini, diciptakan secara sengaja karena kondisi tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan etos/spirit hidup yang mengalami kelunturan. Dalam hal ini, gaya hidup instan, pragmatis dan easy going menjadi beberapa variabel yang bisa juga turut berpengaruh,”ungkapnya.
Menurut Mantovanny, sejauh ini untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, perjudian bukanlah pilihan tepat untuk meningkatkan perekonomian, seperti melancarkan peredaran uang, dll. Sebab, alih-alih untuk meningkatkan perekonomian, justru yang terjadi, sejumlah besat dana terbang keluar Indonesia tanpa terkontrol (uncontrolled capital flight) oleh pemerintah.
“Cukup banyak uang masyarakat kita yang terbang ke Hongkong, Makau, Las Vegas, Melbourne, dll., lebih dari itu justru perjudian online telah menciptakan masyarakat yang terdegradasi dari sudut moral, budaya dan etos kerja yang bermartabat,” kata dosen Unika itu.
Bayangkan!, kata Mantovanny, bila ada 10% saja penduduk Manggarai yang berjumlah 349.000 jiwa berjudi online dengan rata-rata pengeluaran 7000 rupiah, maka dana yang terbang 245 juta perhari. Kalau 30 hari, maka dana yang terbang ke luar daerah tanpa terkontrol, yakni sebesar, 7,35 milyar. Untuk satu tahun terdapat 88,2 milyar uang dari Manggarai yang terbang ke luar negeri. Jumlah ini hampir mendekat Pendapatan Asli Daerah (PAD) Manggarai yang berkisar di 98 milyard pertahun.
Menurut peraih penghargaan LEPRID (Lembaga Prestasi Indonesia-Dunia) 2022 dalam bidang literasi ini, semakin banyak waktu seseorang dihabiskan untuk menatap layar smartphone, juga menjadi masalah tersendiri bagi kesehatan dirinya. Selain berdampak timbulnya perilaku antisosial dan minim relasi, juga menyebapkan tingkat ketergantungan (adiktif) pada gawai. Hal ini bisa memunculkan penyakit yang disebut narkolema (narkotika lewat mata).
Mantovanny mengatakan, menurut catatan WHO (Tempo, 2018), penyakit ini menjadi penyakit baru urutan ketiga setelah Diabetes dan Jantung. Sangat sulit disembuhkan karena langsung menyerang sistem syaraf pusat otak manusia. Masyarakat yang tidak cerdas dalam menggunakan gawai pintar seperti ini sangat beresiko dan rentan dengan prevalensi narkolema ini.
Pertanyaannya, kata dia, mengapa judi online ini semakin merebak dan sulit dikontrol oleh otoritas hukum (kepolisian) dan otoritas moral (agama). Mantovany mengutip pikiran dari Zurohman, dkk (2016) dalam artikel yang berjudul “Dampak Fenomena Judi Online terhadap Melemahnya Nilai-nilai Sosial pada Remaja (Studi di Campusnet Data Media Cabang Sadewa Kota Semarang)” yang dimuat pada Journal of Educational Social Studies, selain karena lemahnya control sosial dari otoritas hukum dan moral, menurut Bourdieu dalam teori generative, menyebut judi online merupakan praktik sosial hasil dari rumus: (Habitus x Modal) + Arena = Praktik.
“Kebiasaan atau budaya judi semakin merebak bila dipicu dengan sedikit modal dan ditambah dengan adanya ruang yang bebas tanpa control, maka munculnya kegiatan deviatif dan patologis ini,” tutupnya.