Penulis: Ferdi Jalu
Putra asli Manggarai
Kunjungan Jokowi ke Labuan Bajo-Flores-NTT, Kamis, 14 Oktober 2021 menunjukkan bahwa perhatian pemerintah pusat terhadap NTT mengagumkan. Ini merupakan kunjungan kesekian kali Jokowi ke Labuan Bajo. Prioritas kunjungannya adalah pembangunan infrastruktur.
Masyarakat bangga dan bahagia tentunya karena mendapat perhatian lebih dari pemerintah pusat. Pembangunan berbagai infrastruktur tersebut diharapkan dapat membebaskan NTT dari pasung kemiskinan.
Akan tetapi dengan menggeliatnya peran pemerintah pusat peran pemerintah daerah tidak begitu tampak. Pemerintah setempat hanya mengikuti saja apa yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Termasuk dalam hal penempatan “pejabat” strategis pengambil kebijakan.
Hampir tidak tampak putra-putri NTT ditempatkan pada posisi pengambil kebijakan strategis dan juga tenaga ahli bidang terkait. Semuanya produk dari luar.
Tidak tampak juga gagasan dan program brilian pembangunan dari pemerintah setempat untuk ditawarkan kepada pemerintah pusat. Ide dan kreativitasnya mandek. Sumpek oleh karena sibuk menata hal-hal administratif, penempatan “pejabat” yang terkesan politis.
Kemandiriannya berpikir merangkaikan pembangunan yang inovatif berbasis sumber daya manusia jauh dari ekspetasi. Hanya proyek biasa yang dipikirkan. Penuh dengan kalkulasi untung-rugi dan balas budi.
Kebijakan pembangunan yang digagaskan dan dijalankan seharusnya dalam kerangka otonomi daerah, anak demokrasi reformasi. Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan pembangunan sejatinya memprioritaskan peran dan kepentingan pemerintah atau masyarakat di daerah.
Dalam kerangka otonomi daerah itu pula pemerintah dan masyarakat tidak bergantung pada pusat, paling kurang soal program, kebijakan, dan pemberdayaan sumber daya manusia. Pemberdayaan manusia harus dikedepankan supaya bisa bersaing dan masyarakat setempatpun tidak tereliminasi dari wisata premium dan pembangunan spektakuler lainnya.
Seluruh stakeholder di daerah bersangkutan diajak untuk terlibat dalam menentukan kebijakan pembangunan. Demikian halnya dengan penempatan tenaga ahli dan pejabat struktural pengambil kebijakan dan pengelolaan pembagunan.
Orang setempatlah yang memahami dengan baik kebutuhan daerahnya, terutama memahami kehidupan sosial budaya. NTT, Manggarai pada khususnya sangat fanatik dengan kehidupan sosial budaya leluhurnya. Itu yang dikedepankan.
Oleh karena itu, orang setempatlah yang perlu diberi tempat khusus dalam jabatan struktural dan tenaga ahli pembangunan, suapaya tidak menimbulkan persoalan.
Rendahnya perhatian terhadap masyarakat setempat maka pembangunan yang dijalankan bermuara kepada “peminggiran” eksistensinya. Ruang tempat mereka tinggal dan bekerja dicaplok oleh kepentingan pembangunan infrastruktur. Kehidupan sosial budaya warisan leluhurnya pun ikut terkubur oleh berkuasanya uang wisata premium.
Masyarkat setempat pada akhirnya lebih menjadi penonton bahkan menjadi “orang asing” di tanah kelahirannya. Manggarai yang terkenal dengan kehidupan sosial budaya dan kaya akan tanah indah nan subur tinggal kenangan. Gejala itu sudah mulai terkuak yang harus segera diredam.
Direktur BPOLBF adalah salah satu contoh, bagaimana putra putri NTT tidak diberi peran yang begitu penting dalam menggerakan pariwisata di daerahnya. Bidang yang sangat menjanjikan, menjadi ikon pembangun di NTT sekarang ini. Biaya pembangunan infrastrukturnya fantastis.
Kepala daerah setempat sepertinya tidak memiliki taring untuk mempengaruhi berbagai kebijakan pusat. Aneh dan ironis tentunya, “pihak luar” yang datang membangun di daerahnya tetapi tidak berkoordinasi dengannya.
Pemerintah setempat terkesan sebagai kacungnya pemerintah pusat. Ataukah kaki tangan pengusaha/penguasa yang bermain dalam proyek infrastruktur yang fantastis dan menggiurkan itu?
Dengan digencarnya berbagai pembanguan infrastruktur kepala daerah juga seharusnya gencar menggerakan sumber daya manusia di daerahnya. Mendorong masyarakat setempat untuk terlibat dalam perencanaan, kebijakan, dan pengawasan.
Bersamaan dengan itu, ketika warganya “mempersoalkan” pembangunan yang dijalankan harus berani dan transparan memberikan penjelasan. Bukannya “ngumpet” atau pura-pura tidak mengetahui proses pembangunan yang tengah berjalan.
Hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah pemerintah setempat mempersiapan tenaga ahli dari daerahnya. Putra-putri NTT harus mengikuti pendidikan atau pelatihan yang nanti berperan penting dalam mengoperasikan dan mengendalikan infrastruktur, sistem, dan kebijakan pembangunan.
Tetapi perlu digarisbawahi, jangan mengirim anak-anak para pejabat atau yang dekat dengan pejabat tetapi tidak memiliki kompetensi. Itu penyakit.
Sudah berapakah jumlah putra-putri NTT yang dipersiapkan, mengikuti kuliah dan pelatihan di lembaga yang kredibel dalam bidang penerangan, pertambangan, transportasi, pariwisata, pertanian dan bidang-bidang lainnya?
Kalau belum ada maka PLTU Ulumbu dan pembangkit listrik lainnya di NTT akan terus dikendalikan oleh orang lain. Demikian halnya dengan pengelolaan infrastruktur pembangunan bidang lainnya, terutama wisata premium Labuan Bajo yang selalu diagungkan dan digaungkan itu.