Jangan sampai menjadi lebih mengarah kepada menstigma anak, memberi kesan waspada bila ada anak disabiltias. Bahwa ada perjalanan proses panjang, sehingga puncaknya peristiwa saat ini. Ini juga terkait kondisi orang tua, apakah aware dengan anak disabilitasnya, terutama yang terkait gangguan emosi pada anak.
Ini akibat orang tua mungkin kehabisan cara menghadapi anaknya, kemudian juga tidak tahu bagaimana penanganan yang tepat, karena berbagai sebab yang sekali lagi perlu di dalami, agar kita semua teredukasi secara baik atas kejadian ini.
Jadi akar permasalhan anak disabilitas pada umumnya, karena sebelumnya mengalami diskriminasi, kekerasan (mental, fisik, psikis), mengalami eksklusi, termasuk di keluarganya. Karena akar permasalahan, apa yang dilakukan anak itu, efek yang dialami sebelumnya, mungkin terjadi di lingkungan sekolah, keluarga, lingkungan dan berkelanjutan panjang, bahkan berlanjut di komunikasi gadgetnya, sehingga ditemukan anak disabilitas putus sekolah, akibat kondisi tersebut.
Itu menambah trauma anak, semakin terdiskriminasi. Karena dari pengalaman orang tua disabilitas yang mengasuh anak disabilitas mental, sebenarnya bisa dicegah, bisa berkurang tantrumnya, bahkan ketika sudah menemukan pola penanganannya anak disabiltas, gangguan mentalnya atau emosinya dapat diatasi, bahkan benar benar pulih bila memiliki komunitas yang tepat. Tapi sekali lagi perspektif disekitarnya juga harus pulih.
Edukasi negara penting untuk dilanjutkan di masyarakat, dalam membangun lingkungan yang ramah anak disabiltias. Mendapatkan perlakuan setara dan layak sebagai warga negara. Bahwa Indonesia sudah berubah, sejak Undang Undang 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ada, sudah banyak perubahan, tetapi perlu terus diperjuangkan, disetiap terjadi peristiwa, agar mengingatkan semua pihak.
Ini juga pernah terjadi dan terlaporkan ke KPAI, situasi orang tua yang bercerai dan memiliki anak disabilitas. Kemudian mereka membagi anak anaknya, akibat sulit sepakat, akhirnya di bawa lari semua oleh salah satu pasangan. Kemudian ia mengembalikan anak disabilitas pada pasangannya, sedangkan yang non disabilitas dibawanya. Apa yang terjadi? Kata pasangannya tidak semua ortu siap menerima anak seperti ini.
Namun bersyukurnya, Anaknya masuk ke komunitas anak anak disabilitas, kemudian mendapatkan informasi cara pulih. Dan akhirnya diterima kembali di keluarganya, karena sudah bisa mengatasi gangguan emosinya dengan dukungan komunitas.