Ia menjual gorengan dengan hati dan memikirkan pembeli. Satu gorengan untuk uang 2000 bagi masyarakat Manggarai masih termasuk taraf mahal. Oleh karena itu, ia sengaja memberikan potongan gorengan yang besar dan cita rasa yang tidak mengecewakan lidah.
Segala rintangan dilewati dengan tabah sambil memikirkan beragam solusi. Ketika harga minyak goreng dan tepung terigu naik, ia tetap membeli minyak goreng kemasan kecil. Kenaikan harga tidak membuat Ibu Ensi berhenti menjual gorengan. Apa boleh buat? Ia tetap harus membuka usahannya. Karena waktu terus berjalan buat apa menunda hal bisa dilakukan hari ini. “Murah dan mahalnya barang, saya tetap pakai yang penting buka setiap hari. Saya tidak mau pelanggan saya lari,” ungkap Ibu Ensi.
“Saat krisis minyak tanah terjadi, suami saya dengan cepat pergi mencari minyak tanah supaya saya bisa buka usaha dari pagi jam 09:00 hingga 20:00 malam.”
Beruntung, Ibu Ensi memiliki suami yang siaga. Walau sedang bekerja sebagai sopir usaha terop milik orang, ia tetap berusaha untuk selalu ada melengkapi setiap kekurangan yang dibutuhkan Ibu Ensi. Kata orang, hidup selalu bermakna jika memiliki pasangan yang mampu berbagi kasih serta mampu mengesampingkan kepentingan pribadi. Berbicara tentang perjuangan jauhnya mencari kios yang menjual minyak tanah pun bisa menjadi kisah romantis yang tidak dramatis. Bukan bunga yang diberi tapi hasil jerih payah yang mampu menyekolahkan anak.
Potret Perjuangan Ibu Ensi dari Jual Pisang Goreng: Saya ingin mereka sekolah setinggi-tingginya
