Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

Vonis GJ dan BAM Dinilai Mencederai Rasa Keadilan

Putusan Hakim Mencederai Rasa Keadilan

Keluarga BAM menilai tuntutan Jaksa dan Putusan Pengadilan Tipikor Kupang tidak bijak dan tidak adil dan menodai rasa kemanusiaan. Menurut Jefri Moa merupakan adik kandung BAM yang kini sedang mendekam di sel tahanan hakim Tipikor Kupang, seharusnya kakaknya itu bebas sesuai fakta persidangan.

“Kami menyesalkan keputusan Hakim yang tidak adil ini, jika melihat fakta fakta persidangan mestinya bebas, karna tidak ada satupun niat jahat unsur memperkaya dan menguntungkan orang lain. Kakak kami menjalankan tugasnya sesuai kewenangan dan atas perintah atasan. Tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam kasus ini,” ungkap keluarga BAM.

Bahkan dirinya belum meyakini dakwaan jaksa terkait jual tanah tanpa sertifikat untuk kepentingan umum masuk kategori tindak pidana korupsi.

“Masa bapa Gregorius dan kaka saya (BAM) di hukum hanya karena tanah itu dulu dijual tanpa sertifikat. Dokumen kepemilikan tanahnya kan ada, surat-suratnya lengkap, keterangan saksi batas lahan ada, bahkan surat keterangan dari Tu’a Golo (Pemangku Adat, Hak Ulayat) yang menyatakan kepemilikan tanah bapak Gregorius, semuanya ada. Tanahnya ada, sesuai dokumen, bahkan setelah diukur ulang BPN lebih luas 600m2 dari tanah saat pembelian  7000m2. Tanah ini juga sudah dibuatkan sertifikat berdasarkan dokumen jual beli dengan Bpa Gregorius, dan sekarang sudah terdaftar jadi aset Pemda Matim, lalu kerugian negaranya dimana?” tanya dia.

Jefri Moa menyatakan, putusan hakim ini sangat mencederai rasa keadilan, apa lagi saat itu BAM hanyalah seorang staf biasa dan PNS yang baru selesai prajabatan.

“Dengan putusan peradilan yang menghukum kakak kami 1.6 tahun penjara dan denda 100 juta, kakak kami terancam di pecat dari PNS untuk sesuatu yang tidak dilakukannya. Jaksa dan Hakim mestinya adil, obyektif dan profesional. Kemudian jika melihat fakta-fakta persidangan dimana pengadaan lahan ini melibatkan banyak orang, mestinya orang-orang yang paling bertanggungjawab dalam pengadaan lahan ini di adili juga, kenapa hanya kakak saya, yang hanyalah staf biasa di tahun 2012,” kata adik kandung BAM ini.

Menurut Jefri Moa, hakim tidak mempunyai hati nurani atas putusan yang dialamatkan kepada BAM dan GJ, bahkan ia menilai keduanya merupakan korban dari pemufakatan jahat antara oknum penegak hukum dan orang besar yang terlibat dalam kasus ini.

“Kita memang sedari awal menduga ada permufakatan jahat yang merekayasa kasus ini untuk menyelamatkan pihak pihak yang mestinya bertanggungjawab. Dugaan kita permainannya dimulai dari audit dari Inspetorat NTT yang mengabaikan fakta fakta tentang dikumen/ surat-surat kepemilikan tanah Bapa Gregorius juga mengabaikan fakta bahwa tanah ini telah disertifikat oleh BPN dan jadi aset Pemda berdasarkan  surat/dokumen kepemilikan tanah dari bapa Gregorius,” pungkasnya.

Dirinya berharap masyarakat dan awak media bisa satu dalam perjuangan untuk mengadvokasi kasus ini, karena kasus ini adalah bentuk ketidak adilan yang nyata penegakan hukum di Manggarai dan NTT umumnya.

“Jangan sampai ada bapak Gregorius dan Aristo lain dikemudian hari yang dijadikan tumbal oleh penegakan hukum yang tidak berkeadilan ini. Lebih baik membebesakan 1000 orang bersalah dari pada menghukum 1 orang yang tidak bersalah, saya mengetuk hati kita semua untuk menegakan keadilan dan mengoreksi para penegak hukum agar tidak ada yang jadi korban, demi kemanusiaan dan demi hukum itu sendiri.” ujarnya.