Bernardus T. Beding
(Dosen Prodi PBSI Universitas katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng)
Pemerintah telah menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti sejak 2016. Berbagai trobosan pengimplementasian GLN dilakukan pemerintah, seperti pembentukan kelompok kerja GNL.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah untuk meningkatkan daya baca siswa. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menggerakkan literasi bangsa dengan menerbitkan buku-buku pendukung bagi siswa yang berbasis pada kearifan lokal; juga kegiatan penajaman konsep GLN, diskusi, lokakarya penyusunan peta jalan, panduan, dan materi GLN. Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) menggagas Gerakan Satu Guru Satu Buku untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam pembelajaran baca dan tulis (https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/tentang-gln/)
Tidak sedikit sekolah mengaku telah menjalankan Gerakan Literasi sekolah melalui pembiasaan 15 menit membaca sebelum pelajaran dimulai. Bahkan, berbagai komunitas, kelompok, media, dan perhimpunan melakukan kegiatan literasi di berbagai tempat dan daerah. Tentu semangat tersebut memperkuat sinergi antarunit utama pelaku gerakan literasi dengan menghimpun semua potensi dan memperluas keterlibatan publik menumbuhkembangkan dan membudayakan literasi di Indonesia; sekaligus memperbaiki tingkat literasi masyarakat Tanah Air.
Konsep, GLN tidak sekadar mengajarkan baca dan tulis. Dalam buku panduan Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah, terdapat enam komponen kegiatan yang dapat dilakukan.
Pertama, literasi dini sebagai dasar pengembangan literasi yang menitikberatkan pada pendampingan dan bimbingan terhadap anak-anak sehingga memiliki kemampuan menyimak, memahami bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui gambar dan lisan.
Kedua, literasi permulaan yang bersifat lebih kompleks, yakni membantu anak memiliki keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, menghitung hingga menganalisis, mempersepsi, mengkomunikasikan, dan menggambarkan informasi sesuai pemahaman sendiri.
Ketiga, literasi perpustakaan, yaitu mengenalkan anak-anak pada jenis-jenis buku yang ada di perpustakaan sehingga mereka dapat memiliki pengetahuan dalam memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan atau penelitian.
Keempat, literasi media bermaksud memperkenalkan anak tentang berbagai media massa di Indonesia, baik cetak, elektronik, ciber, maupun media sosial. Tujuannya agar anak memahami dan menilai informasi secara cermat dan bertanggung jawab dalam menggunakan media-media tersebut.
Kelima, literasi teknologi, yakni mengajarkan anak untuk menguasai dan menggunakan berbagai bentuk teknologi, baik berperanti keras (hardware) maupun lunak (software).
Keenam, literasi visual, yakni memberi pemahaman kepada anak tentang konten digital yang beretika dan tidak melanggar norma sosial.
Sesungguhnya, literasi merupakan gerakan pemurnian berpikir sistematis dan mendalam hingga mencerdaskan intelektual.
Sayangnya, program ‘keren’ tersebut belum memperlihatkan hasil yang diharapkan bersama. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Ristek, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek), indeks aktivitas literasi masih dalam kategori literasi rendah. Akhir-akhir ini beberapa komunitas, media, dan kaum muda tertentu bergeliat dalam mewacanakan literasi sebagai wujud kesadaran intelektual. Namun, geliat itu hanya beraroma ‘palatihan sesaat’. Sangat tawar masakan literasinya; tidak sampai pada kesedapan pendampingan. Hasilnya pun sangat tidak ‘mengenyangkan’ penikmatnya.
Mengapa? Karena pegiat literasi tertentu hanya mau ‘mengemis’ waktu, popularitas, dan anggaran. Realitas yang tak dapat dimungkiri bahwa pegiat tertentu sekadar melatih satu-dua jam lalu langsung menerbitkan ‘luaran’ yang diperoleh dari waktu yang singkat itu. Menjadi pertanyaan, apakah dengan luaran itu, objek literasi sudah memahami hakikat dari literasi yang sesungguhnya, atau supaya ‘dikenal’? Artinya, ada ketidakautentikan gerakan literasi akibat surplus gerakan tersebut. Semuanya penuh dengan pencitraan manakala kondisi pegiat dalam situasi krisis sehingga dapat diterjemahkan sebagai gerakan ‘mengemis’.
Gerakan literasi sekelompok orang akhir-akhir ini persis sebagaimana adegan politik praktis yang dengan sendirinya menghilangkan nilai substansinya. Gerakan demikian dapat diterjemahkan seperti politik Indonesia yang lekat dengan kepentingan orang yang bergeliat dalam politik memungkinkan untuk memanfaatkan situasi dan kondisi lembaga-lembaga objek literasi. Gerakan ini dijadikan penunjang kepentingan tertentu yang dapat menjadikan ruang literasi sebagai gerakan politik praktis.
Lebih parah lagi nama suatu wilayah, lembaga, komunitas, dan media resmi dengan sematan literasi. Misalnya, Kabupaten Literasi, Desa Literasi, Sekolah Literasi, Media Literasi, Komunitas Literasi, dan sebagainya. Jangan sampai ada sisipan kepentingan politik sebagai basis pencitraan mewujudkan gerakan politik.
Satu sisi, perwujudan literasi menumbuhkan kepentingan ekonomi para pemodal dan pasar di mana gerakan literasi disusupi dengan gerakan ‘mengemis’ supaya lembaga-lembaga atau peserta gerakan literasi dapat membeli buku-buku atau majalah-majalah terbitan pegiat yang ‘tidak laku’ di pasar.
Hal ini bukannya mempermudah para siswa memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi mempersulitkan mereka.
Walaupun demikian, masih ada para pegiat, kelompok-kelompok yang betul-betul memaknai gerakan literasi sebagai kegiatan murni mencerdaskan kehidupan anak bangsa tanpa ada intervensi apa pun lebih-lebih sebagai wadah pamer-pameran. Banyak lembaga, komunitas, kelompok yang tetap menghidupi dan mengimplementasikan visi-misi GLN dengan benar, penuh ketulusan tanpa ada ‘modus’ lain di baliknya. Para pegiat demikian memaknai literasi sebagai budaya menumbuhkan kemampuan manusia secara intelgensia, intelektual, emosional, dan spritual dengan mengedepankan budaya proses; karena seperti kata bijak klasik, ‘proses tidak akan pernah mengkhianati hasil’.
Tidak sedikit pula lembaga pendidikan, komunitas-komunitas, dan kelompok-kelompok menggunakan waktu yang benar untuk sebuah proses literasi sesungguhnya dengan membangun budaya pendampingan literasi. Bahkan, mereka membutuhkan waktu untuk dapat membuktikan masakan dari hasil bimbingan dalam tulisan-tulisan bermutu peserta yang berpayungkan buku maupun majalah. Tujuannya, alumninya tidak menjadi asing tentang resepan tulisan yang sama di negeri asing, dunia kampus.
Jadi, gerakan literasi harus menjadi ‘budaya’, bukan menjadi gerakan ‘mengemis’ karena miskin, tidak tenar, dan supaya dianggap berintelektual. Literasi yang menyulitkan seseorang merupakan bagian dari realitas ekonomi. Semoga para pegiat literasi dan sosok pejuang lietarsi dalam memberdayakan generasi muda harus berhati-hati dan berjuang dengan niat yang sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dari niat yang suci) untuk memerdekakan manusia dari kebodohan, keterpurukan, dan keterjajahan, tanpa embel ‘mengemis’. Mudah-mudahan.*