Jakarta, GardaNTT.id – Prahara Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia dengan Dewan Pers terkait klaim legitimasi peran semakin memanas. Kini, Ketua LSP itu mendorong Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) untuk memeriksa keuangan Dewan Pers.
“Terima kasih bung sudah memberi kami bukti. Selama ini DP (Dewan Pers.red) sembunyikan,” kata ketua LSP Pers Indonesia, Heintje Mandagi, melalui pesan tertulisnya pada Juma’at, 29 Juli 2022 menjawab pernyataan yang disampaikan Dewan Pers pada berita sebelumnya di Portal Media GardaNTT.id.
“Ada banyak peserta yang masih dimintai jutaan untuk ikut UKW. Dan apakah UKW itu anggarannya miliaran?” tanya Mandagi.
“BPK harus periksa. Karena itu APBN. Dewan Pers juga bukan lembaga negara melainkan lembaga independen. Yang jawab itu tidak paham status Dewan Pers itu dalam UU Pers,” terang Mandagi lagi.
“Buktinya adalah seluruh peraturan Dewan Pers bukan peraturan perundang-undangan dan tidak tercatat dalam lembar negara,” ungkapnya.
Mandagi menyebut, Domain mengurus wartawan itu bukan Dewan Pers tapi Organisasi Pers yang berbadan hukum dari Kementrian Hukum dan HAM.
Menurut dia, Dewan Pers hanya fasilitator jangan mau jadi wasit dan pemain. Wasit itu Organisasi Pers dan pemainnya adalah wartawan.
“Kalau sekarang Dewan Pers sudah bertindak sebagai wasit sekaligus pemain,” ungkapnya.
Mandagi mengatakan, sebaiknya Dewan Pers sabar saja dan tunggu Keputusan sidang uji materi UU Pers di MK. Kembalikan marwah pers kepada yang ahli yakni organisasi pers.
Ia menjelaskan, LSP Pers Indonesia itu didirikan oleh organisasi pers yang berbadan hukum dan disahkan Menkumham dan dijamin juga oleh UU Pers.
“Apakah UU pers hanya mengatur DP. Justru UU Pers tidak mengatur DP karena di pasal 1 UU Pers tidak ada ketentuan umum yang menyebutkan tentang Dewan Pers. Makanya keberadaan Dewan Pers sebetulnya hanya pembantu bagi organisasi pers,” jelas ketua LSP itu.
Bahkan, ketua LSP Pers Indonesia ini juga menyindir Dewan Pers terkait pemberitaan kasus penembakan polisi.
“Anggota Dewan Pers aja bikin malu dengan pernyataan terkait kasus penembakan polisi. Bukannya melindungi wartawan malah sibuk membatasi kemerdekaan pers. Itulah dampak jika Dewan Pers dikuasai oligarki dan berisi orang- orang yang sebagian tidak paham tentang pekerjaan dan marwah pers,” kata Mandagi.
Mandagi juga menyuruh media ini (GardaNTT.id) untuk menanyakan besaran penggunaan biaya APBN oleh DP, padahal masih ada UKW wartawan tetap bayar jutaan.
“Anda tanya juga dong me DP kenapa biaya APBN sebesar itu masih ada UKW yang wartawan harus bayar jutaan,”
“Dan dia (Dewan Pers.red) juga kan berbisnis. Biaya APBN itu untuk membiayai ongkos bagi Lembaga Penguji yang tak berizin dan penguji kompetensi yang tidak bersertifikat penguji atau asesor,” kata Mandagi.
Ia juga menjelaskan, sistem sertifikasi di BNSP mengacu pada sistem internasional yang harus ada pembaharuan setiap 3 tahun.
“Itulah sebabnya kalau DP tidak paham sistem sertifikasi maka dia gak tau apa fungsinya pembatasan masa berlaku sertifikat. Itu tujuannya untuk memastikan kompetensi wartawan itu berlanjut,” ungkap Mandagi.
Lebih jauh Mandagi mengatakan, dirinya akan mendorong BPK untuk periksa keuangan Dewan Pers.
“Makanya saya lagi mendorong agar BPK RI memeriksa keuangan DP terkait pelaksanaan UKW. Apakah semahal itu sampai miliaran dana APBN habis di situ sia-sia.” tutupnya.
Saat ditanya terkait upaya ketua LSP Pers Indonesia mendorong BPK RI memeriksa keuangan Dewan Pers, Ketua Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Pers mengatakan, silahkan saja.
“Silahkan saja,” tulis pria yang nama lengkap Paulus Tri Agung Kristanto itu melalui pesan Whatsapp (30/07).