Berimbang, Tegas, Akurat
Indeks

KPAI Ingatkan Semua Pihak Mengedepankan Informasi Layak Anak Soal SJ

Foto: Jasa Putra/Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Pembahasan KPAI atas Beberapa Kasus Tersebut

Pertama, anak-anak NTT yang awalnya diajak mengubah nasib dan dorongan orang tuanya juga untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. Kemudian, ada orang yang mengajaknya untuk merantau, karena alasan anak tidak ada masa depan di kampung.

Kemudian mereka terlepas dari orang tua dengan alasan akan dipekerjakan, dan kemudian sempat tinggal shelter, namun shelter tersebut tidak terurus dan bubar. Akhirnya anak-anak ditangkap pasar kejahatan anak, dengan memperkerjakan mereka dalam bisnis pedofilia. Dengan tidak ada pilihan keluar, karena bisa tidak selamat. Namun karena satu anak bisa melarikan diri dari jaringan kejahatan anak tersebut, kita bisa mengungkapnya.

Kedua, seorang rohaniawan Brother Angelo yang bergerak sosial, mendirikan panti di Depok, kemudian melakukan pedofilia kepada anak-anak yang diasuhnya selama 5 tahun. Namun seusai anak-anak bersaksi dan pelakunya dipenjara, hanya dalam hitungan tempo 2 bulan pelakunya dilepaskan. Dengan berbagai alasan Polres Depok mengeluarkan dari penjara pada waktu itu.

Di tengah perjalanan proses hukumnya, kepolisian juga mengangap sulit ditangani, karena yang mengalami anak-anak panti, karena tidak ada wali yang bisa bertanggung jawab. Apalagi pengasuhnya berhadapan masalah hukum. Ditambah selepas tidak di panti, mereka tidak mengetahui anak-anak tinggal di mana.

Sehingga dukungan untuk anak-anak terus mempertahankan kesaksiannya sangat sulit dikawal, justru anak terlunta lunta, berpindah pindah, terbengkalai. Sehingga karena alasan tersebut, proses hukum tidak bisa dilanjutkan. Dengan alasan anak-anak tidak ada, tidak bisa dilanjutkan kasusnya.

“Lebih parahnya lagi para korban melaporkan kepada Kementerian Sosial, mereka ditakuti oleh pelaku dan kroninya. Tentu ini menjadi kekecewaan bersama dalam penanganan pedofilia. Di dalam penjara pun masih bisa menakuti anak, dan keluarga pelaku sempat datang ke KPAI, untuk meminta pelakunya dibebaskan dan anak-anak mencabut kesaksiannya. Namun sekarang pelaku sudah dalam penjara kembali,” kata Jasra.

Ketiga, penolakan masyarakat atas masifnya pemberitaan pelepasan SJ dari penjara, yang cenderung seperti heroik, sehingga lebih nampak kasusnya mengada ngada. Ditambah kondisi para korban yang mungkin masyarakat belum update penanganannya. Sehingga pelepasan SJ diiringi kasus suap kepada aparat hukum, menjadi penolakan masyarakat.

Menurut Jasra, dari kondisi tersebut, ada beberapa hal yang harus dilihat lebih jeli dan dalam.

Pertama sikap permissif, ketiga penanganan kasus tersebut menandakan secara gamblang, bahwa keberpihakan kepada para korban menjadi pekerjaan berat. Dengan mudahnya aparat disuap, sudah di penjara di lepas.

Kedua, Rehabilitasi masih belum tuntas. Hasil survey KPAI atas pelaksanaan rehab di lembaga rehabilitasi pemerintah yang masih belum tuntas. Dan membutuhkan anggaran yang besar. Apalagi kalau melihat kasus brother Angelo, dengan anak anak tidak terurus dalam kasusnya.

“Karena dari kasus ini, lebih memperlihatkan, kita belum punya shelter yang representatif dan para petugas yang capable, apalagi ada ketakutan atau stigma menangani anak seperti ini (menular). Sehingga seringkali rehab dan penanganannya salah kaprah.” Ungkap Jasra.

Ketiga, dengan kondisi seperti ini, pertanyaannya, dimana para korban. Yang parallel dengan itu, tentu membawa trauma berkepanjangan, dalam potret kita mengani korban pedofilia di Indonesia yang masih seperti ini.

Keempat, secara jaringan dan sistem kerja pelaku kejahatan pedofilia sangat jeli melihat situasi anak anak seperti ini. Sehingga dengan segala skenario yang mereka buat, bisa menempatkan anak anak dalam perlakukan salah dan eksploitasi ekonomi. Bahkan menjadi ancaraman generasi.

“Tentunya dengan beberapa kasus ini, semakin memperlihatkan bagaimana penanganan kasus pedofilia di Indonesia, mulai aparat hukumnya disuap, melepaskan pelaku, dan keberpihakan yang tidak tepat. Sehingga memang perlu ekstra luar biasa negara untuk benar benar tegak berdiri dan tegas dalam penanganan pelaku dan kondisi para korban yang masih sangat jauh dari sistem perlindungan.” tambahnya.

Terkait tampilnya SJ di depan layar TV dan media lainya, Jasra menjelaskan, KPAI mendapat aduan yang sangat luar biasa, suara dan pandangan publik yang berpihak kepada korban merupakan alarm positif untuk memperjuangkan perlindungan anak termasuk juga korban pelecehan seksual.

Jasra menambahkan, data aduan KPAI sepanjang Januari-Juni 2021 ada 3668 kasus aduan diberbagai kluster pemenuhan dan perlindungan anak. Disamping kluster keluarga dan pengasuhan alternatif yang paling tinggi pertama sebanyak 1334 kasus, kemudian disusul kluster perlindungan khusus anak terutama anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis serta kekerasan seksual sebanyak 1245 kasus.

Dikatakan Jasra, KPAI sudah melayangkan surat ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada 6 September 2021 dengan menyampaikan berbagai regulasi, agenda besar Presiden terkait 4 hal perlindungan anak yakni menurunkan angka kekerasan terhadap anak, menurunkan pekerja anak, menurunkan pernikahan usia anak, dan meningkatkan peran orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak. Tentu glorifikasi yang berelebihan kepada SJ bertentangan dengan agenda negara yang sedang serius mengerahkan sumber dayanya untuk menyelesaikan 4 hal persoalan perlindungan anak yang membutuhkan dukungan para pihak, termasuk media telivisi dan media lainya.

Jasra menjelaskan, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang berbunyi “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial”.

Selain itu, menurut ketentuan Pasal 72 (5) Undang-undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, “Peran media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan Anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak. Jika melihat ketentuan dimaksud, maka isi siaran harus terpilih, sehat untuk perkembangan anak serta beorientasi kepentingan terbaik bagi anak.

Oleh karena itu, dalam rekomendasi KPAI kepada Komisi Penyiaran Indonesia agar: 1. Memberikan himbauan dan edukasi secara berkelanjutan kepada kepada lembaga penyiaran untuk menjaga marwah lembaga penyiaran dalam menjalankan fungsi edukasi dan hiburan yang sehat; 2. Melakukan penyesuaian Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dengan prinsip-prinsip perlindungan anak termasuk berorientasi perlindungan terhadap korban, saksi dan pelaku anak. Karena pemberitaan terpidana dan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak yang berlebihan rentan mengganggu psikologis korban, tidak sesuai dengan etika dan kepatutan penyiaran di ruang public, serta dampak lainnya.

“Saya kira dengan SJ melihat situasi ini, harusnya SJ lebih  arif dan peduli kepada situasi penanganan fedofilia di Indonesia.Terutama dengan berpihak kepada para korban, mengurangi trauma. Tidak mengulangi menyuap aparat.” kata Jasra.

Jasra menambahkan, sudah seharusnya ketiga kasus pedofilia ini mengasah sisi kemanusiaan, jadi potret penanganan pedofilia yang masih permissif dan jauh dari keadilan di Indonesia. Harus segera berevolusi untuk memihak para korban dan penanganan pelaku yang terawasi berkelanjutan, agar anak anak tidak terjebak lebih jauh lagi dari perlakuan salah kita semua selama ini, dalam melihat kasus kejahatan fedofilia anak.

Lebih jauh dijelaskannya, kita pernah juga berhasil secara bersama menyusun peraturan melalui peraturan KPU RI untuk membatasi mantan nara pidana pelaku kejahatan seksual anak untuk tidak menjadi calon kepala daerah dan legislatif dalam pilkada dan pileg beberapa tahun yang lalu. Upaya ini dilakukan untuk menghormati serta sensitifitas terhadap korban yang jumlahnya cukup banyak.

Disamping itu, tambahnya, tentu kita tidak bisa membayangkan nasib perlindungan anak jika sang Cakada atau Caleg mantan predator anak tersebut menjadi pemimpin di daerahnya/dapilnya akan menjadi berpihak kepada pemenuhan dan perlindungan anak.

“Saya kira banyak tokoh publik lain yang bisa menjadi duta-duta perlindungan anak dengan track record yang baik. Karena syarat untuk menjadi duta anak tersebut tentu tidak pernah melanggar etika dan hukum di masa lalu. Sulit bagi pejuang atau aktivis perlindungan anak untuk bisa menerima termasuk juga korban apabila SJ dijadikan sebagai orang yang akan melakukan kampanye bahaya kekerasan seksual kepada anak,” tutup Jasra.