Cyprianus mengaku, pihaknya merasa terancam dengan adanya pemboikotan itu. Namun, ia telah menyurati Polres Manggarai Timur untuk mengamankan lokasi agar dirinya bersama staf bisa kembali bekerja. Selain itu ia juga meminta kejelasan atas status tanah itu.
“Memang kami salah, sudah tidak masuk kantor. Tapi kami juga takut, kami terancam apalagi berhadapan langsung dengan masyarakat. Sehingga kita sekarang sedang menunggu kejelasan status tanah dari pemerintah kecamatan dan Pemda Matim,” ungkapnya.
Cyprianus menambahkan, masyarakat suku Ndoko pernah meminta pemerintah Kelurahan membuka forum diskusi. Namun, inisiatif tersebut tidak diindahkan karena dianggap sudah dilakukan di Polres Manggarai di Ruteng.
Sejumlah keputusan saat itu diantaranya, Pertama, tanah yang di serobot suku Teno Ndoko adalah tanah milik Pemerintah Daerah (Pemda) Matim yang sudah mendapatkan kepastian hukum dari Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia.
Kedua, suku Teno Ndoko selaku pihak penyerobot saat itu menyatakan siap untuk tidak melakukan kegiatan di atas tanah yang sudah berstatus milik Pemda Matim itu.
Ketiga, suku Teno Ndoko wajib membongkar bangunan yang dibangun di atas tanah Pemda yang terletak persis di samping Kantor Lurah Tiwu Kondo.
Keempat, apabila suku Teno Ndoko memiliki dokumen kuat terkait status tanah yang disengketakan itu, dipersilahkan untuk melakukan gugatan perdata ke Pengadilan.
Kelima, Pemda Matim akan melakukan pendataan dan tertibkan batas tanah yang digarap oleh warga diatas tanah itu.
Keenam, Pemerintah Kelurahan Tiwu Kondo dapat kembali menggunakan bangunan kantor lurah yang berlokasi di Puran Wara.
Dengan demikian, kata Cyprianus, tanah kantor Kelurahan Tiwu Kondo merupakan milik Pemda Matim.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, tanah yang diklaim kepemilikannya oleh warga Suku Ndoko sudah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan putusan Mahkamah Agung.