Akibat dari perubahan iklim masyarakat menjadi mengalami mono-konsumsi ke beras. Hal ini berdampak pada akses dan cadangan pangan masyarakat. Masyarakat yang tadinya memiliki kecukupan konsumsi melalui hasil panennya sendiri, saat ini harus membeli dari luar agar cukup hingga musim panen selanjutnya.
Melalui hal tersebut tersebut, masyarakat memaknai perubahan iklim sebagai perubahan kehidupan dan perubahan cuaca. Dimana hal tersebut dianggap terjadi secara alamiah dan bukan dari akibat adanya perubahan sistem yang ada.
Hasil survei yang dilakukan Yayasan Ayo Indonesia, beberapa wilayah pertanian yang sangat terdampak akibat perubahan iklim antara lain; Desa Rai dan Desa Goloworok Kecamatan Ruteng. Desa Tal dan Desa Wewo Kecamatan Satarmese.
Gregorius Matur, Ketua Kelompok Tani Ca Nai, asa Wela, Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, yang hadir dalam kegiatan tersebut menjelaskan bahwa perubahan iklim ini sangat berpengaruh terhadap hasil pertanian. Sebagai contoh, pada awal tahun 2022 cuaca cukup bagus sehingga kelompoknya menanam sayuran jenis fanbox. Namun memasuki awal bulan Mey, curah hujan justru semakin tinggi dan menyebabkan tanaman hancur.
“Untuk satu bulan ke depan ini saya tidak bisa panen apa-apa. Ini berarti perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap menurunnya penghasilan petani,” jelasnya.
Atas persoalan kata dia, Pemerintah perlu berkoordinasi dengan BMKG perlu memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang ancaman perubahan iklim. Sehingga masyarakat menjadi tahu tanaman jenis apa yang bisa ditanam sesuai dengan kondisi cuaca dan perubahan iklim yang terjadi.
“Yang kami butuh dari pemerintah adalah diskusi melalui BMKG itu untuk perkiraan cuaca. Kira-kira apa yang cocok untuk petani tanam di bulan-bulan sekarang ini,” katanya.
Penggunaan Pupuk Organik
Grogorius merupakan kelompok tani dampingan dari Yayasan Ayo Indonesia. Sejak tahun 2012, kelompoknya menggunakan pupuk ramah lingkungan atau pupuk organik. Oleh karena itu, Lembaga Ayo Indonesia menobatkan dirinya sebagai petani organik.