Ayah
Engkau seperti akar pohon
yang menopang batangnya
Juga seperti atap
yang melindungi seisi rumah.
Seringkali kau menahan rasa lapar
Sering pula kau mengabaikan cucuran keringatmu
Di bawah sengatan panas matahari tanpa malu dan takut kau mempertaruhkan jiwa ragamu hanya untuk hidupku.
Ayah
Sering aku menyakitimu
Sering aku bantah aturanmu amarahmu membuatku seakan dipanggang di atas bara api
Namun kasih sayangmu tetap menyusup hingga tulang-tulangku
Tubuhmu yang dahulu kekar kini terlihat letih lesu
Namun dihadapan kami kau tak ingin terlihat lemah
Meski kenyataannya kau sedang hancur tak berdaya.
Ayah
Aku pernah bertanya
Terbuat dari apakah ragamu? aku bangga padamu
Ayahku..ayah sederhanaku
Seberkas Sinar
Di ufuk timur yang jauh
Terlihat seberkas sinar bercahaya
Terdengar pula suara kokok ayam tanda fajar kan segera menyingsing
Hari baru harapan baru
Bersama dinginnya hembusan angin
Dan rintiknya tetesan embun pagi
Aku melangkah menyusuri perbukitan
bersama harapan
Aku maju tanpa keraguan
Bertahan bersama keyakinan akan hari esok yang menakjubkan.
Aku terbiasa dalam kegagalan
Terbiasa pula dalam caci makian meski kadang hati tergetar
Namun semangat jiwa tetap berkobar
Waktu Terakhir
Datang dari arah yang berbeda
Juga dari kalangan yang tak sama
Dipertemukan tanpa sengaja
Oleh tujuan dan harapan yang searah
Tanpa sadar kami bercanda
Berbagi cerita tawa dan lara
Kadang dilengkapi dengan pertengkaran,
caci makian namun akhirnya saling memaafkan
Hari berganti tahun
Pagi, siang, dan malam terlewati tak terasa
t’lah tiga tahun kami di sini bekerja, belajar, dan bermain bersama
Suatu ketika terdengar suara
“Hai nak, tinggal sebulan kamu di sini. Belajarlah yang giat…!!
Ucapan itu terdengar santai tapi hatiku risih. Aku belum siap untuk kehilangan.
Waktu akhir
Iyaaa…
perjuanganku kan segera berakhir ada perasaan
gembira bercampur pilu namun adakah di antara kita yang mampu mengubah takdir…?
Dengan berat hati aku ucapkan
‘Selamat tinggal kawan-kawanku’